Kamis, 05 Juli 2018

Destruktif dan konstruktif

destruktif

bersifat destruksi (merusak, memusnahkan, atau menghancurkan): 
Alat keamanan negara pasti mampu mengatasi tindakan destruktif yang mengganggu ketenangan masyarakat

konstruktif

bersangkutan dengan konstruksi(kiasan) bersifat membina, memperbaiki, membangun, dsb.: 
Kritiknya sangat konstruktif

Destruktif

destruktif

bersifat destruksi (merusak, memusnahkan, atau menghancurkan): 
Alat keamanan negara pasti mampu mengatasi tindakan destruktif yang mengganggu ketenangan masyarakat

Justifikasi

justifikasi (posesif kumunya; partikula: kahlah·

putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani: 
Salah satu justifikasi menaikkan gaji pegawai adalah untuk memperbaiki pelayanan jasa publik

Rabu, 04 Juli 2018

Prasasti batu tulis bogor

Prasasti Batutulis

Prasasti Batutulis pada tahun 1920-an

Prasasti Batutulis pada tahun 1920-an

Salinan gambar prasasti Batu Tulis dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor

Prasasti Batutulis terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan BatutulisKecamatan Bogor SelatanKota Bogor. Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran dan masih in situ, yakni masih terletak di lokasi aslinya dan menjadi nama desa lokasi situs ini.[1] Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Sundaterdapat dalam komplek ini. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasasti ini berangka tahun 1455 Saka (1533 Masehi).

Isi Prasasti

Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,diwastu diya wingaran prebu guru dewatapranadi wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewatapun ya nu nyusuk na pakwandiva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarangya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi

Terjemahan

Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.

Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhumDinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi"

Uga wangsit siliwangi (indonesia)

Uga Wangsit Siliwangi

Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi.

Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!

Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!

Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!

Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!

Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.

Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.

Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.

Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!

Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.

Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.

Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.

Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah.  Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.

Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.

Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.

Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!

Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.

Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.

Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!

Uga wangsit siliwangi (sunda)

Uga Wangsit Siliwangi (sunda)

Carita Pantun Ngahiangna Pajajaran

Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.

Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.

Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!

Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!

Naskah wangsakerta

Naskah Wangsakerta

Naskah Wangsakerta adalah istilah yang merujuk pada sekumpulan naskah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh "Panitia Wangsakerta". Menurut isi Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa (bagian) V sarga (jilid/naskah) 5 yang berupa daftar pustaka, setidaknya perpustakaan Kesultanan Cirebonmengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya berupa karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya.

Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di Bandung.[1]

Panitia WangsakertaSunting

Dalam pengantar setiap naskah Wangsakerta selalu diinformasikan mengenai proses dibuatnya naskah-naskah tersebut. Panitia--yang dipimpin oleh Pangéran--Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala(simposium/seminar) antara para ahli (sajarah) dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka, 1698 M).

Karya Panitia WangsakertaSunting

Naskah-naskah yang dihasilkan oleh Panitia Wangsakerta bisa digolongkan menjadi beberapa judul:

Pustaka Rajyarajya i Bhumi NusantaraPustaka PararatwanPustaka Carita Parahyangan i Bhumi Jawa KulwanPustaka NagarakretabhumiPustaka SamastabhuwanaSalinan kitab-kitab hukum MajapahitKumpulan caritakatha, dan itihasaPustaka mengenai raja desa dan raja kecilSalinan beberapa naskah Jawa KunoMahabharataKumpulan kathosanaSalinan prasastiSalinan surat-surat perjanjian persahabatanNaskah mengenai cerita para pedagangNaskah dalam berbagai bahasa daerah lain dan bahasa asingKumpulan widyapustaka (aneka ilmu)Pustaka keislamanSarwakrama raja-raja SalakanagaraSarwakrama raja-raja TarumanagaraSarwakrama raja-raja Galuh dan PajajaranSarwakrama raja-raja GaluhSarwakrama raja-raja Jawa Tengah dan TimurRaja-raja dan pembesar MajapahitRaja-raja dan pembesar BaliRaja-raja dan pembesar Janggala dan KadiriRaja-raja dan pembesar SriwijayaRaja-raja daerah Bali, Kadiri, dan JanggalaSalinan naskah-naskah karya Prapanca

KontroversiSunting

Ditemukannya naskah Wangsakerta pada awal tahun 1970-an, selain menimbulkan kegembiraan dan kekaguman akan kelengkapannya, untuk banyak pihak justru menimbulkan keraguan dan kecurigaan, bahkan para sarjana dan ahli sejarah menduga bahwa naskah ini aspal (asli tetapi palsu). Di antara alasan-alasan yang meragukan naskah ini, yaitu:

terlalu historis, isinya tidak umum sebagaimana naskah-naskah sezaman (babad, kidung, tambo, hikayat);cocoknya isi naskah dengan karya-karya sarjana Barat (J. G. de CasparisN. J. KromEugene Dubois dsb.), sehingga ada dugaan bahwa naskah ini disusun dengan merujuk pada karya para ahli tersebut (tidak dibuat abad ke-17);keadaan fisik naskah (kertas/daluang, tinta, bangunan aksara) menunjukkan naskah yang dijadikan rujukan merupakan salinan dan tulisannya kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.

Perjalanan Bujangga manik

Perjalanan Bujangga Manik

Perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuno berbahasa Sunda yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.

Tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resiHindu dari Kerajaan Sunda yang lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi, walaupun sebenarnya ia seorang kesatria dari keraton Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi Kota Bogor). Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke timur Jawa. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah sempat singgah di Bali untuk beberapa lama. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha sampai akhir hayatnya.[1] Dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik berasal dari zaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Penyebutan MajapahitMalaka, dan Demak membawa pada perkiraan bahwa naskah ini ditulis akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.[2] Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan geografidan topografi Pulau Jawa pada saat naskah dibuat. Lebih dari 450 nama tempat, gunung, dan sungai disebutkan di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang[3].

Ringkasan NaskahSunting

Naskah ini ditulis dengan genre santri lelana("orang pintar yang berkelana"), suatu genre yang cukup umum dipakai pada naskah-naskah dari masa berikutnya, seperti misalnya Serat Centhini.

Diceritakan bahwa Bujangga Manik akan meninggalkan ibunya untuk pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari kebiasaannya kita tahu bahwa dia mengenakan ikat kepala (saceundung kaen).

Perjalanan pertamanya dilukiskannya secara terperinci. Waktu mendaki daerah PuncakBujangga Manik menghabiskan waktu seperti seorang pelancong zaman modern: dia duduk, mengipasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya Gunung Gede yang dia sebut sebagai titik tertinggi dari kawasan Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda).

Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan sampai menyeberangi Ci Pamali (sekarang disebut Kali Brebes) untuk masuk ke daerah Jawa. Di daerah Jawa dia mengembara ke berbagai desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai di Pamalang, Bujangga Manik merindukan ibunya dan memutuskan untuk pulang. Namun pada kesempatan ini, dia lebih suka untuk lewat laut dan menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai pertengahan abad ke-15 sampai ditaklukkan oleh Portugis menguasai perdagangan pada perairan ini.

Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta bedil ditembakkan, alat musik dimainkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak kapal; gambaran terperinci mengenai bahan yang digunakan untuk membuat kapal diceritakan: berbagai jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang berasal dari India juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal berasal dari berbagai tempat atau bangsa.

Perjalanan dari Pamalang (sekarang Pemalang) ke Kalapa, pelabuhan Kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan. yang memberi kesan bahwa kapal yang ditumpangi tersebut berhenti di berbagai tempat di antara Pamalang dan Kalapa. Dari perjalanan tersebut, Bujangga Manik membuat nama alias lainnya yaitu Ameng Layaran. Dari Kalapa, Bujangga Manik melewati Pabeyaan dan meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di Pakuan, di bagian selatan kota Bogor sekarang bujangga Manik memasuki Pakancilan, terus masuk ke paviliun yang dihias cantik dan duduk di sana. Dia melihat ibunya sedang menenun. Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali. Dia segera meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melewati beberapa lapis tirai, dan naik ke tempat tidurnya.

Ibu Bujangga Manik menyiapkan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki bahan untuk mengunyah sirih, menyisirkan rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia kemudian turun dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang ditawarkan ibunya.

Pada bagian berikutnya, diceritakan mengenai putri Ajung Larang Sakean Kilat BancanaJompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang meninggalkan istananya, menyeberangi Ci (Sungai) Pakancilan dan datang ke istana Bujangga Manik. Di istana tersebut dia bertemu seorang asing yang sedang mengunyah sirih yang ternyata adalah Bujangga Manik. Jompong Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga Manik.

Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung Larang yang kebetulan sedang sibuk menenun. Putri, yang mengenakan gaun serta di sampingnya ada kotak impor dari Cina, melihat Jompong Larang yang terburu-buru, menaiki tangga dan kemudian duduk di sampingnya.

Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya. Jompong Larang mengatakan bahwa dia melihat pria yang sangat tampan, sepadan bagi putri Ajung Larang. Dia menceritakan bahwa Ameng Layaran lebih tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau sepupu sang putri, atau siapapun itu. Lebih dari itu, pria itu pintar membuat sajak dalam daun lontar serta bisa berbahasa Jawa. Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta. Dia kemudian menghentikan pekerjaan menenunnya dan memasuki rumah. Di sana dia sibuk menyiapkan hadiah bagi pria muda tersebut, yang terdiri dari berbagai perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan sangat hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi wangi-wangian yang sangat mahal: "seluruh wewangian tersebut berasal dari luar negeri", juga baju dan sebuah keris yang indah.

Ibu Bujangga Manik mendesak anaknya untuk menerima hadiah dari putri Ajung Larang kemudian menggambarkan kecantikan putri yang luar biasa serta pujian-pujian lainnya. Ibunya juga mengatakan bahwa putri berkeinginan untuk meyerahkan dirinya kepada Bujangga Manik serta mengucapkan kata-kata yang tidak pernah disampaikan putri Ajung Larang, "Saya akan menyerahkan diri saya. Saya akan menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau, meminta diterima sebagai kekasih. Ameng Layaran terkejut mendengar ucapan-ucapan ibunya yang antusias dan menyebutnya sebagai kata-kata terlarang (carèk larangan) dan bertekad untuk menolak hadiah tersebut dengan kata-kata yang panjang juga. Dia meminta ibunya bersama Jompong Larang untuk mengembalikan hadiah tersebut kepada putri serta menghibur putri. Dia lebih suka untuk hidup sendiri dan menjaga ajaran yang dia terima selama perjalanannya ke Tanah Jawa, di pesantren di lereng Gunung Merbabu (yang dia sebut dalam naskah ini sebagai Gunung Damalung dan Pamrihan). Untuk itulah Bujangga Manik terpaksa harus meninggalkan ibunya.

Bujangga Manik mengambil tasnya yang berisi buku besar (apus ageung) dan siksaguru, juga tongkat rotan serta pecut. Dia kemudian mengatakan bahwa dia akan pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa untuk mencari tempat nanti dia dikuburkan, untuk mencari "laut untuk hanyut, suatu tempat untuk kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya". Dengan kata-kata yang dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjangnya.

Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama tempat yang sebagian masih digunakan sampai sekarang.

Kidung sunda

Kidung Sunda

Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan naskahnya ditemukan di Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian dia menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tidak disebutkan namanya. Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sundadianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit. Kemudian terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan pengantin Sunda dengan prajurit Majapahit di pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.

Versi kidung Sunda

Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. f, menemukan beberapa versi Kidung Sunda. Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya:

Kidung SundaKidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)

Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang dibahas dalam artikel ini.

RingkasanSunting

Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.

Pupuh I

Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka dia mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan dia mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.

Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.

Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.

Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak dari Sunda disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.

Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini.

Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar(Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)

Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong Raja Sunda yang seharusnya menjadi raja bawahan. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.

Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.

Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih AnepakÄ›n, untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana dia menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.

Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia menjadi negara bawahan Majapahit. Maka dia berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.

Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.

Pupuh II (Durma)

Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan pertempuran tidak dapat dihindarkan.

Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.

Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi karena kalah jumlahnya, akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. AnepakÄ›n dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian sesuai ajaran Hindu mereka melakukan belapati (bunuh diri). Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.

Pupuh III (Sinom)

Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.

Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.

Setelah dia diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka dia mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu dia menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).

Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.

Analisis

Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.

Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.

Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.

Kemudian ada sebuah hal yang menarik, tampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka.

Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantaradan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), MaduraBali, Koci (?), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang) dan Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.

Penulisan

Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.

Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.

Beberapa cuplikan teksSunting

Di bawah ini disajikan beberapa cuplikan teks dalam bahasa Jawa dengan alihbahasa dalam bahasa Indonesia. Teks diambil dari edisi C.C. Berg (1927) dan ejaan disesuaikan.

Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)

Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

Alihbahasa:

“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.Kedua mantrimu yang bernama LÄ›s dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”

Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71)

[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.

Alihbahasa:

[...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan dia sang Tuan Putri.Maka ini terdengar oleh Sri Raja <Sunda> dan dia menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!”“Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).

Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)

Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.

Alihbahasa:

Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin <hamba> masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, dia sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.

*Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.

Prasasti di daerah sunda

Prasasti di Tatar Sunda

Prasasti di Tatar Sunda adalah prasasti yang berasal dari bekas Kerajaan TarumanagaraKerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang meliputi wilayah Jawa BaratBantenJakartaLampung bagian selatan dan Jawa Tengahbagian barat (Banyumasan). Prasasti-prasasti ini ditulis dalam bahasa-bahasa yang pernah ada atau digunakan di Tatar Sunda, seperti Bahasa Sanskertabahasa Sunda kuno dan lainnya yang menggunakan Aksara Pallawa. Di bawah ini disajikan daftar seleksi beberapa prasasti di Tatar Sunda yang penting dan menonjol. Semua tahun yang disebut di bawah ini adalah tahun Masehi.

Prasasti dari masa Tarumanagara

Prasasti Cidanghiyang (Lebak/Munjul)
Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak)
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Kebonkopi
Prasasti Muara Cianten
Prasasti Pasir Awi
Prasasti Tugu

Prasasti dari masa kerajaan Sunda

Prasasti Sanghyang Tapak

Prasasti dari masa kerajaan Galuh

Prasasti Mandiwunga
Prasasti Huludayeuh
Prasasti Pasir Datar
Prasasti Cikajang
Prasasti Rumatak
Prasasti Galuh

Selasa, 03 Juli 2018

Revolusi prancis

Semangat Revolusi Perancis "liberte, egalite, fraternite" (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) 

Falibilisme

Falibilisme adalah doktrin filosofis yang menyatakan bahwa semua pengetahuan bisa salah. Beberapa fasibilis bahkan berkata bahwa kepastian mutlak pengetahuan itu tidak mungkin. Doktrin ini biasanya dikaitkan dengan Charles Sanders PeirceJohn Dewey, dan pragmatis lainnya, tetapi gagasan semacam ini sudah dapat ditemui dalam pandangan-pandangan filsuf kuno seperti XenophanesSocrates, dan Plato.

Minggu, 01 Juli 2018

Preyoratif

Peyoratif
 adalah unsur bahasa yang memberikan makna menghina, merendahkan, dan sebagainya, yang digunakan untuk menyatakan penghinaan atau ketidaksukaan seorang pembicara. Kadangkala, sebuah kata lahir sebagai sebuah kata peyoratif, namun lama kelamaan digunakan sebagai kata yang tidak bersifat peyoratif. Dalam linguistik, fenomena ini dikenal sebagai meliorasi, atau ameliorasi, atau perubahan semantik.

Eskaton - eskatologi

Kata "eskatologia" adalah kata majemuk Yunani. Ia terdiri atas kata "logos" =kata, ajaran, dan kata "eskaton"(mufrad) atau "eskata" (jamak) artinya: yang terakhir. Maka itu kata "eskatologia" artinya ialah kata/paham, ajaran tentang "yang terakhir",. Menurut istilah kata itu berarti: paham/ajaran tentang kejadian-kejadian terakhir didalam sejarah dunia dan umat manusia, jadi: akhir jaman atau jaman terakhir, jaman yang mengunci sejarah dunia ini. Maka itu "eskatologia" tidak sama artinya dengan "hari kiamat", meskipun "hari kiamat" tentu termasuk kedalam pengertian "eskatologia".

Telos

Sebuah telos (dari bahasa Yunani τέλος untuk "akhir", "tujuan", atau "tujuan") adalah akhir atau tujuan, dalam arti yang cukup terbatas yang digunakan oleh para filsuf seperti Aristoteles . Ini adalah akar dari istilah " teleologi ", kira-kira studi tentang kepekaan, atau studi tentang objek dengan maksud untuk tujuan, tujuan, atau niat mereka. Tokoh teleologi terpusat pada biologi Aristoteles dan dalam teori penyebabnya . Ini sangat penting bagi hampir semua teori filsafat sejarah, seperti sejarah Hegel dan Marx . Salah satu perdebatan yang berjalan dalam filsafatmodern biologi adalah sejauh mana bahasa teleologis (seperti dalam "tujuan" berbagai organ atau proses kehidupan) tidak dapat dihindari, atau hanya singkatan untuk ide-ide yang akhirnya bisa dibilang non-teleologis.Filosofi aksi juga membuat penggunaan penting kosakata teleologis: pada akun Davidson , tindakan adalah sesuatu yang dilakukan agen dengan niat — yaitu, melihat ke depan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh tindakan.

Berbeda dengan telos, techne adalah metode rasional yang terlibat dalam menghasilkan objek atau mencapai tujuan atau sasaran;Namun, kedua metode tersebut tidak saling eksklusif secara prinsip.

Jumat, 22 Juni 2018

Kian sancang dan kian santang


Kian Santang Sering disamakan dengan Kian Sancang

Ilustrasi: akucintanusantaraku

"Kian Santang" dan "Kian Sancang" sering disamakan sebagai sosok yang sama. Gelar Kian berasal dari Rakeyan atau Rakian atau kalau dalam budaya Jawa disebut Raden (dari kara Rahadyan). Sebenarnya kedua nama tersebut adalah orang yang berbeda. Kesamaan keduanya memeluk agama Islam. Kemiripan keduanya adalah dari keluarga kerajaan Sunda. Namun berbeda zaman.

Rakeyan Santang, Kian Santang atau Kiansantang (ditulis menyatu) atau Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci, adalah Putra Prabu (Maharaja) Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521 M). Raja Pakuan Pajajaran dengan Nyi Subang Larang, Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang dinikahkan oleh Syekh Quro Karawang. Dari pernikahan Sri Baduga Maharaja dengan Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang putra yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati) dan Kian Santang.

Rakeyan Sancang (Kian Sancang) Pemeluk Islam Pertama Pasundan - Indonesia. Rakeyan Sancang (lahir tahun 591 M) putra Raja Kertawarman (Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M). Raja Suraliman Sakti (568 – 597 M ) Putra Manikmaya cucu Suryawarman Raja Kerajaan Kendan adalah saudara sepupu Rakeyan Sancang.

Rakeyan Sancang inilah yang sering dirancukan dengan Rakeyan Santang atau Raden Sangara putra Sri Baduga Maharaja Pajajaran (1482 - 1521 M), yang menurut Babad Godog di Garut terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat Suci.

Waktu Kisah Kian Santang Berbeda dengan Kian Sancang

Kisah Kian Sancang (tahun 561-618 M) sering campur aduk dengan Kian Santang (1427 M) -Babad Cirebon. Kian Sancang zaman Kerajaan Tarumanegara, sedangkan Kian Santang zaman Kerajaan Pajajaran. Rentang waktu keduanya terpaut jauh, lebih kurang 800 tahun.

Prabu Siliwangi Dikejar Kiantang? atau 

Kian Sancang Mengejar Prabu Sudhawarman?

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali. Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudhawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kertawarman) turut memimpin pasukan.

Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudhawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kertawarman.

Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang/ Kian Santang/ Prabu Kiansantang mengejar bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan. 

Jadi yang mengejar Rajanya adakan kian Sancang terhadap Raja/Prabu Sudhawarman Tarumanegara. Bukan Kian Santang terhadap Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Apakalagi dalam kisah lain dikatakan bahwa Prabu SIliwangi beragama Islam? Terlepas Islam-Tidaknya saat itu, Prabu Siliwangi menghadiri penobatan Raja Cirebon, anak pertamanya dari Nyimas Subanglarang yaitu Prabu Walangsungsang di Cirebon. Artinya Prabu (Maharaja) Siliwangi sama sekali TIDAK MEMUSUHI ISLAM. Berbeda dengan Prabu Sudhawarman yang MEMUSUHI ISLAM yang disebarkan Kian Sancang.

Mengenai siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara, yang bernama Rakeyan Sancang.Baca:Kian Santang, Kian Sancang dan Sayidina Ali RA

Pertemuan dengan Sayidina Ali ada Kian Sancang, bukan Kian Santang

Untuk kisa ini, silahkan baca: Rakeyan Sancang (Kian Sancang) Pemeluk Islam Pertama Pasundan - Indonesia

Rakeyan Sancang disebutkan hidup pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali bin Abi Thalib. namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir. Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, Rakeyan Sancang diceritakan, turut serta membantu Imam Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.

Cerita rakyat turun menurun dari mulut ke mulut bahwa Kian Santang abad ke 15 yang bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib tahun 599-661 dan mengejar bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan. 

Hal ini terkait dengan siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, yakni dengan nama yang serupa dengan Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara, yang bernama Rakeyan Sancang atau Kian Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Raja Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M) saudara sebapak Raja Suraliman Sakti (568–597) Putra Manikmaya cucu Suryawarman Raja Kerajaan Kendan.

Catatan:

Hasil Pernikahan Prabu (Maharaja) Siliwangi dengan Nyimas Subanglarang tahun 1404 M dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu:

Pangeran Walangsungsang (1423 M)Nyimas Ratu Rarasantang (1427 M)Pangeran Raja Sengara/Kian Santang (1429 M)

Tiga putra inilah kelak kemudian hari akan membabad/membangun pedukuhan Cirebon yang berlangsung pada tanggal 1 Syuro tahun 1445.  Pangeran Walangsungsang dilahirkan pada tahun 1423 M di keraton Pajajaran ayahnya bernama Prabu Siliwangi, raja ke-9. Sedangkan ibunya Ratu Subang Larang yang memeluk agama Islam di Pengguron Syekh Quro Kerawang, Jawa Barat.

Kamis, 07 Juni 2018

Filantropi

Filantropi

Filantropi (bahasa Yunaniphilein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal. Biasanya, filantropi seorang kaya raya yang sering menyumbang untuk kaum miskin.

Seorang filantropis seringkali tidak mendapatkan dukungan menyeluruh terhadap tindakannya. Tuduhan yang sering diterima adalah masalah tujuan amal (seperti mendanai seni bukannya memerangi kelaparan dunia), atau memiliki tujuan terselubung seperti penghindaran pajakdengan efek samping popularitas.

Pembuktianmelalui induksi

Pembuktian melalui induksi

Untuk artikel lain, lihat 

Pembuktian induktif, kadang-kadang disebut logika induktif, adalah proses pembuktian di mana suatu argumen diduga mendukung kesimpulan tetapi tidak bersinambungandengannya; contoh: mereka tidak menjamin kebenaran itu. Induksi adalah bentuk pembuktian yang membuat generalisasi berdasarkan pendapat sesorang.[1] Digunakan untuk menjelaskan properti atau relasi tipeberdasarkan sebuah pengamatan (contohnya, pada jumlah pengamatan atau pengalaman); atau untuk membuat hukum berdasarkan pengamatan terbatas dalam mempelajari alur fenomena. induksi ditetapkan, contohnya, dalam menggunakan preposisi spesifik seperti:

Es ini dingin. (atau: Semua es yang pernah kusentuh dingin.)Bola biliar bergerak ketika didorong tongkat. (atau: Dari seratus bola biliar yang didorong tongkat, semuanya bergerak.)

...untuk membedakan preposisi umum seperti:

Semua es dingin.Semua bola biliar bergerak ketika didorong tongkat.

Contoh lainnya adalah:

3+5=8 dan delapan adalah angka genap. Sebuah angka ganjil yang ditambahkan dengan angka ganjil lain akan menghasilkan angka genap.

Perlu diingat bahwa induksi matematikabukanlah bentuk pembuktian induktif. Induksi matematika adalah bentuk dari pembuktian deduktif.


ContohSunting

Induksi kuat:

  • Semua burung gagak yang kulihat berwarna hitam.

Induksi lemah:

  • Aku selalu menggantung gambar dengan paku.
  • Banyak denda mengebut diberikan pada remaja.

Pembuktian melalui deduksi

Pembuktian melalui deduksi

Pembuktian melalui deduksi adalah sebuah jalan pemikiran yang menggunakan argumen-argumen deduktif untuk beralih dari premis-premis yang ada, yang dianggap benar, kepada kesimpulan-kesimpulan, yang mestinya benar apabila premis-premisnya benar.[1]

Contoh klasik dari penalaran deduktif, yang diberikan oleh Aristoteles, ialah

Semua manusia fana (pasti akan mati). (premis mayor)Sokrates adalah manusia. (premis minor)Sokrates pasti (akan) mati. (kesimpulan)

Untuk pembahasan deduktif secara terinci seperti yang dipahami dalam filsafat, lihat Logika. Untuk pembahasan teknis tentang deduksi seperti yang dipahami dalam matematika, lihat logika matematika.

Penalaran deduktif seringkali dikontraskan dengan penalaran induktif, yang menggunakan sejumlah besar contoh partikulir lalu mengambil kesimpulan umum.

Latar belakangSunting

Penalaran deduktif dikembangkan oleh AristotelesThalesPythagoras, dan para filsuf Yunani lainnya dari Periode Klasik (600-300 SM.). Aristoteles, misalnya, menceritakan bagaimana Thales menggunakan kecakapannya untuk mendeduksikan bahwa musim panen zaitun pada musim berikutnya akan sangat berlimpah. Karena itu ia membeli semua alat penggiling zaitun dan memperoleh keuntungan besar ketika panen zaitun yang melimpah itu benar-benar terjadi.[2]

Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.[3]

Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar di antara keduanya dapat disimpulkan dari dinamika deduktif tengan progresi secara logis dari bukti-bukti umum kepada kebenaran atau kesimpulan yang khusus; sementara dengan induksi, dinamika logisnya justru sebaliknya. Penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukkan suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.

Penalaran deduktif memberlakukan prinsip-prinsip umum untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang spesifik, sementara penalaran induktif menguji informasi yang spesifik, yang mungkin berupa banyak potongan informasi yang spesifik, untuk menarik suatu kesimpulan umu. Dengan memikirakan fenomena bagaimana apel jatuh dan bagaimana planet-planet bergerak, Isaac Newton menyimpulkan teori daya tarik. Pada abad ke-19, Adams dan LeVerrier menerapkan teori Newton (prinsip umum) untuk mendeduksikan keberadaan, massa, posisi, dan orbit Neptunus (kesimpulan-kesimpulan khusus) tentang gangguan (perturbasi) dalam orbit Uranus yang diamati (data spesifik).

Logika deduktifSunting

Penalaran deduktif didukung oleh logika deduktif. Metode deduksi sifatnya pasti. Berikut ini adalah contoh logika deduksi:

Premis 1Semua manusia pasti matiPremis 2Socrates adalah manusiaKesimpulanSocrates pasti mati

"Socrates pasti mati" adalah kesimpulan atau konsekuensi dari dua premis sebelumnya. Jika premis 1 dan premis 2 benar, maka kesimpulannya juga benar.[4]

Deduksi alamiahSunting

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Deduksi alamiah

Penalaran deduktif harus dibedakan dari konsep yang terkait yaitu deduksi alamiah, sebuah pendekatan kepada teori pembuktian bahwa upaya-upaya untuk memberikan sebuah model penalaran logis yang formal sebagaimana ia terjadi "secara alamiah".

Rujukan budaya

Sherlock Holmesdetektif fiktif yang diciptakan oleh Sir Arthur Conan Doyle, terkenal karena rujukannya kepada penalaran deduktif dalam berbagai cerita Doyle. Namun kesimpulan- kesimpulannya yang paling terkenal jelas sekali adalah kasus-kasus abduksi.