Sabtu, 27 Mei 2017

sejarah silat cimande

Silat Cimande
Silat Cimande adalah salah satu aliran pencak silat tertua yang telah melahirkan berbagai perguruan silat di Indonesia bahkan di luar negeri.
Banyak versi yang menjelaskan tentang berdirinya pencak silat ini, semua komunitas
Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dan sebagainya. Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam Bahasa Inggris Great Grandfather)  . Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Menurut Bapak Rifai (Guru Pencak Silat Cimande Panca Sakti di Jakarta pada tahun 1993). Pencak Silat aliran Cimande pertama kali diciptakan dari seorang Kyai bernama Mbah Kahir. Mbah Kahir adalah seorang pendekar Pencak Silat yang disegani. Pada pertengahan abad ke XVIII (kira-kira tahun 1760), Mbah Kahir pertama kali memperkenalkan kepada murid-muridnya jurus silat. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai Guru pertama silat Cimande. Pahlawan Betawi yaitu Si Pitung dipercaya juga berasal dari aliran perguruan silat ini. Mbah Khair juga memiliki murid bernama Mbah Datuk dan Mbah Jago dari Sumatera Barat. Kemudian keduanya menyebarkan silat Cimande di tempat mereka berasal, sehingga bisa dikatakan bahwa Pencak Silat Cimande adalah saudara tua dari pencak silat, termasuk Silek Minang yang berasal dari Sumatera Barat.
Sejarah

Ada 3 versi utama yang sering diperdebatkan, yaitu:

Versi pertama
Ini adalah versi yang berkembang di daerah
Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya dan juga Cianjur selatan). Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17 sampai abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia , Bogor , Cianjur,
Bandung , Sumedang, dan sebagainya. Dan dalam perjalanan tersebut dia sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, dia tidak menemukan istrinya ada di rumah, padahal saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore. Dia menunggu dan menunggu, sampai merasa jengkel dan khawatir, jengkel karena perut lapar belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum datang juga. Akhirnya tak lama kemudian istrinya datang juga, hilang rasa khawatir, yang ada tinggal jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada istrinya, " Ti mana maneh? " (Dari mana kamu?) tetapi tidak menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul, tetapi semakin mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kelelahan dan menyadari kekhilafannya, dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus " Ti mana anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin? " (Dari mana kamu? Lalu dari mana kamu bisa "Main"?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet (Salah satu monyet memegang ranting pohon). Saking indahnya perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya, dan itu menjelang tengah malam. Apa yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan dia. Ia berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat akan lupa. Dia berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa dia bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah dia membangun reputasinya di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan [5] , tetapi mohon dibedakan pamacan yang “ black magic ” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dan lain-lain).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya, walaupun jurus-jurusnya ada . Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan Timur dan Cianjur selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab " ti indung" (dari ibu), karena memang mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama dengan aliran lain (Cikalong , Madi, Kari, Sahbandar, dan lain-lain). Beberapa tokoh yang sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 – awal 1900), Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai Marzuk (Maenpo H. Marzuk, zaman penjajahan Belanda), dan lain-lain.

Versi kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang ahli maenpo dari Kampung Badui .  Dia dipercayai sebagai keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugis sendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah "pengotoran" akan kesucian tanah Badui.
Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu’un ) meminta Abah Khaer untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati, Abah Khaer pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih, menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk “menghaluskan” Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga dia berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang misalnya beras, ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan.
Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah Jawa Barat bagian barat ( Banten , Serang, Sukabumi , Tangerang , dan sebagainya).  Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di Amerika oleh orang Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga mereka.

Versi ketiga
Versi ketiga inilah yang "sedikit" ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan dia di Kampung Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut, masalahnya dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana "leluhur" dalam
Bahasa Indonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan sebuah misteri terpisah, darimana dia belajar Maenpo ini, apakah hasil perenungan sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut, tepatnya di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande yaitu Abah Buyut, Abah Rangga, Abah Khaer, dan lain-lain.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia . Saat itu perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah sekarang, bukan hanya perampok, tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang. Tantangan alam seperti itulah yang turut membentuk beladiri yang dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar dari Cina dan juga dari Sumatera . Dengan kualitas basic beladirinya yang matang dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari tantangan alam dan keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar Abah Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang dahsyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai " pamuk " ( pamuk dalam Bahasa Sunda artinya Guru beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu nama yang patut dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena dialah yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu yang "menciptakan" aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor. Mulai saat itulah dia tinggal di Kampung Tarik Kolot – Cimande sampai wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka inilah dan murid-muridnya sewaktu dia bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Jawa Barat.
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa dia: "selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga dia selalu memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika dia "ibing" di atas panggung penampilannya sangat ekspresif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika "ibing" (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang (" Nincak kana kendang " – istilah sunda). Penampilannya betul-betul tidak bisa dilupakan dan terus diperbincangkan." (dari cerita/buku Pangeran Kornel, legenda dari Sumedang , dalam salah satu bagian yang menceritakan kedatangan Abah Khaer ke Sumedang, aslinya dalam Bahasa Sunda , pengarang Rd Memed Sastradiprawira).

sejarah letusan gunung guntur

Sejarah Letusan Gunung Guntur
Di era 1800-an, Gunung Guntur merupakan gunung paling aktif di Indonesia, bahkan mengalahkan Gunung Merapi di Jawa Tengah.
Sejarah Letusan Gunung Guntur
Di era 1800-an, Gunung Guntur merupakan gunung paling aktif di Indonesia, bahkan mengalahkan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Adalah Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis Belanda kebangsaan Jerman, yang rajin menuliskan laporan tentang betapa aktifnya
Gunung Guntur dalam bukunya : 13 Goentoer, Java Tweede Afduling, De Vulkaan en Vulkanische Verschjnslen West-en Midden-Java (1850).
Antara tahun 1800 sampai 1847 tercatat tidak kurang dari 21 kali letusan. Letusan itu berulang-ulang dalam tempo pendek, berlangsung paling lama 5 sampai 12 hari. Periode letusan berselang-selang antara 1,2 dan 3 tahun dan ada kalanya letusan terjadi setelah masa istirahat 6 dan 7 tahun. Berikut beberapa sejarah letusan Gunung Guntur yang tercatat.
Nih, sejarah letusan Gunung Guntur yang tercatat di periode 1800-an :
1825 : Letusan terjadi pada tanggal 14 Juni. Letusannya mengakibatkan hutan di sekitar gunung hangus terbakar.
1829 : Letusan yang terjadi di tahun ini cukup besar dan tiba-tiba. Beberapa kampung hancur, dan banyak orang menjadi korban
1832 : Di tahun ini terjadi dua kali letusan. Yang pertama terjadi pada tanggal 16 Januari, dan yang kedua merupakan letusan panjang berkali-kali dari 8 hingga 13 Agustus.
1840 : Pada tahun 1840 letusan yang terjadi bahkan mengeluarkan aliran lava. Aliran lava ini mengalir hingga ke Cipanas. Lava hasil erupsi tahun 1840 ini mengalir dari Kawah Gunung Guntur ke arah tenggara dan selatan dan berakhir di daerah Cipanas (sekitar 300 meter sebelah utara lokasi wisata pemandian Cipanas),
“ Matahari belum lagi terbit ketika tiba-tiba terbentuk tiang api dan asap dari kawah. Lava membara mengalir ke semua arah dari tepinya… Tiada batang rumput menghiasi Gunung Guntur dari kaki hingga puncak, sama sekali gundul, ia menjulang dalam kegelapan lontaran kelabu kotor kehitaman, bagaikan suatu gambaran kehancuran. ”
-F. Junghuhn, naturalis Belanda, menceritakan sejarah letusan Gunung Guntur tahun 1840 dalam 13 Goentoer, Java Tweede Afduling, De Vulkaan en Vulkanische Verschjnslen West-en Midden-Java (1850).*)
1841 : Letusan yang terjadi pada tanggal 14 Nopember ini sangat besar hingga menghancurkan lahan-lahan pertanian di Garut. Tercatat hingga 400.000 batang pohon kopi hancur.
1843 : Pada tahun ini pun letusan terjadi dua kali, yaitu pada tanggal 4 Januari dan tanggal 25 November. Akibat dari letusan ini banyak lahan pertanian warga dan beberapa kampung rusak.
1847 : Letusan tahun 1847 adalah letusan terakhir
Gunung Guntur . Hingga saat ini, lebih dari 150 tahun lamanya, Gunung Guntur telah beristirahat.
Kata pak Surono, Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang rajin ngamatin Gunung Guntur , gunung ini adalah salah satu gunung yang harus selalu diwaspadai aktivitasnya. Selain karena gunung ini sudah menyimpan energi selama lebih dari 1,5 abad, Gunung ini juga sangat dekat dengan perkotaan. Oleh karena itu, tim beliau ngga boleh sampai lengah.
Nah, luar biasa kan sejarah letusannya? Kalau mau tanya-tanya perihal aktivitas Gunung Guntur , bisa dicari tuh pos pengamatannya di Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong Kaler, Kab. Garut.

legenda gunung guntur Garut

Sejarah atau legenda Gunung Guntur ternyata menceritakan tentang sebuah kerajaan. Pada zaman dahulu kala, konon terdapat sebuah kerajaan yang berdiri di sekitar lembah kaki Gunung Kutu. Kerjaan tersebut adalah "Kokorobokan" yang di pimpin oleh seorang raja bernama Sunan Ranggalawe. Sunan Ranggalawe memiliki seorang kakak peremuan bernama Ratna Inten Dewata. Jika menurut peraturan kerjaan, Sunan Ranggalawe tidak bisa menjadi seorang raja. Yang lebih berhak menjadi sang raja seharusnya adalah kakaknya. Tapi karena Ratna Inten Dewata adalah seorang peremuan, maka Sunan Ranggalawe lah yang akhirnya diipilh menjadi seorang raja untuk menduduki tahta dan mewarisi dari raja terdahulu.
Pada suatu ketika kemarau panjang melanda kerajaan Kokorobokan. Dimana-mana terjadi kekeringan yang membuat rakyat Kokorobokan sangat menderita. Sebagai seorang raja Sunan Ranggalawe tidak bisa tinggal diam dengan hanya memikirkan penderitaan yang di derita oleh rakyat dan negrinya. Setelah memikirkan jalan kleuar dengan para patih kerajaan, akhirnya Sunan Ranggalawe mumutuskan jalan keluar dari kemarau panjang yaitu dengan membuat telaga penampungan air. Akan tetapi lahan yang kan dibuat telaga penampungan air tersebut ternyata di kuasai oleh Ratna Inten Dewata. Secara baik-baik Sunan Ranggalawe meminta izin kakanya agar menyerahkan lahan yang di diaminya, sayang Ratna Inten Dewata menolaknya smabil berkata "Setelah aku tidak jadi raja karena aku seorang wanita, sekarang tempat tinggal ku akan kau rebut juga?!" Sunan Ranggalawe pun tidak bisa berbuat apa-apa atas penolakan kakaknya. Raja pun menghormati keputusan kakanya meski para patih kerjaan sangat kecewa. Sunan Ranggalawe sangat kebingungan, sementara rakyat membutuhkan air. Setelah berpikir dia berniat untuk kembali memnemui kakaknya. Lagi, Ratna Inten Dewata tetap menolak.
Sumber gambar: http://daerah.sindonews.com
Sebagai seorang raja, Sunan Ranggalawe merasa harus bertanggung jawab atas nasib rakyatnya yang dilalnda kekeringan dan kemarau panjang. Akhirnya untuk lepas dari kekeringan Sunan Ranggalawe memerintahkan semua rakyatnya untuk membendung lahan milik Ratna Inten Dewata untuk dijadikan telaga. Namun apa yang terjadi? Ratna Inten Dewata sangat murka tapi apa daya dia tidak bisa melawan adiknya sendir. Untuk mengeluarkan semua amarahnya Ratna Inten Dewata akhirnya pergi ke puncak Gunung Kutu. Dia menyendiri dan bertapa sambil memanjaatkan doa kepada Tuhan supaya adiknya di sadarkan, bahwa apa yang telah di perbuat Sunan Ranggalawe telah menyakiti kakanya sendiri. Dipuncak Gunung Kutu Ratna Inten Dewata menaburkan bunga disertai segenggam tanah kering.Tidak lama setelah itu, tiba-tiba awan menebal dan suasana sangat meburuk. Mengetahuai sesuatu yang dahsyat akan terjadi, Ratna Inten Dewata pun bergegass turun dari puncak gunung Kutu. Lalu gunung Kutu meletus dengan sangat dahsyat dan membumihanguskan Kerjaan Kokorobokan. Karena Letusan gunung tersebut menyerupai "Guntur' maka Gunung tersebut dinamai Gunung Guntur sampai sekarang.
Guntur yang berarti "halilintar" atau "petir " ini menjadi salah satu gunung berapi paling aktif di Jawa Barat. Itulah Sejarah Panamann Gunung Guntur Dan Legenda Di dalamnya.

Jumat, 26 Mei 2017

Mengapa Bali tetap Hindu?


Sesungguhnya kita orang Bali bukanlah pedagang yang mumpuni apalagi keberanian untuk menawarkan Agama pada orang Non Hindu. Kita berprinsip bahwa Agama Hindu adalah sebuah sumur atau sumber air bersih, maka jika kalian merasa haus datanglah kepada Nya untuk menimba airnya. Sumur tidak bersifat komersial dan dia bukan air kemasan yang ber merk dan bertarif yang bahkan berebut untuk di iklankan.
-Budi Sihing-
Pasca Runtuhnya Majapahit pada abad 15, hampir seluruh Nusantara menjadi Islam, kecuali beberapa wilayah di Indonesia Timur yang Kristen.
Bali, menurut mendiang Clifford Geertz , sebuah pulau Hindu yang munggil, menyembul di tengah samudera Islam. Mengapa Bali tetap Hindu? Apa yang menghalangi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa masuk ke Bali?
Satu sebab yang luas dipercaya adalah bahwa para tokoh Hindu, seperti Danghyang Nirartha telah membangun benteng niskala di seluruh pesisir Bali yang tidak bisa ditembus oleh para penyerbu dari luar. Mungkin saja hal ini benar dari sudut niskala. Tetapi Robert Pringle dalam bukunya “A Short History of Bali, Indonesia’s Hindu Realm” memberikan analisis dari aspek sekala yang masuk akal.
Tidak pernah tercatat kehadiran yang signifikan dari komunitas Muslim di Bali. Hampir tak pernah ada ekspansi ke Bali untuk menyebarkan agama Islam.
Pada saat Majapahit mulai kehilangan dominasinya atas Nusantara, sebagian besar wilayahnya menjalani Islamisasi tapi tetap dengan budaya maritim. Bali tidak. Tidak seperti Jawa, Bail tidak memiliki pelabuhan perdagangan utama. Sulit dipahami seperti itu mungkin, rempah-rempah tidak signifikan tumbuh di Bali juga. Pedagang dari Asia Selatan dan Timur Dekat berlayar ke Malaka, Jawa atau Kalimantan - menikahi penduduk setempat sambil memperkenalkan Islamisme untuk bangsawan lokal - dan melakukan kontak dengan orang-orang dari Timur (Sunda, Maluku dan Buru), sementara Bali sama sekali dilewati?
Bali masih bercorak masyarakat agraris. Saat itu, ketika semua orang di Nusantara terlibat dalam proses kompleks (dan dipolitisasi) panjang perdagangan rempah-rempah melalui maritim Jalur sutra (Silk Road) sepanjang jalan ke Eropa, di Bali tumbuh beras dan makanan pokok lainnya di tanah Bali dengan suburnya (perhatikan bahwa Bali dengan ciri masyarakat agraris, seperti Jepang, cenderung terlihat untuk menjauh dari laut, karena itu terutama gunung berapi yang memainkan peran untuk kesuburan tanahnya).
Bali tetap terisolasi dan tidak terganggu selama 300 ratus tahun sejak jatuhnya Majapahit. Selama Pemerintahan Belanda (saat dikuasai Prancis) memastikan kedaulatannya setiap sudut bumi nusantara. Untuk sementara Belanda tetap mempertahankan Hindu sebagai agama di Bali.
Dengan demikian, Bali dan Aceh adalah tempat terakhir di kepulauan Indonesia untuk belum jatuh ke dalam kekuasaan Belanda secara penuh pada abad kedua puluh. Pada saat tentara Belanda menyerang kerajaan Bali selatan (di mana Denpasar terletak) pada tahun 1908 M, hampir semua penguasa keturunan lokal bertindak baik sebagai bawahan, penguasa boneka atau hanya simbol entitas sub-kolonial Belanda yang dikelola lokal .
Lebih mudah untuk menetapkan misi misionaris di bawah piagam lokal. Mencoba untuk mengubah penganut lokal dari keyakinan mereka telah "membeli dari seribu tahun" sia-sia, berakhir tanpa dukungan dari penguasa lokal.
Di bawah subjudul “Why Bali Remained Hindu” Pringle menulis sebagai berikut: Kenapa, setelah keruntuhan Mahapahit, Bali tetap jauh tinggi
(aloof) dari kecendrungan kepulauan Nusantara dan gagal memeluk Islam? Geografi tentu saja bukan jawaban yang cukup; seperti dicatat sebelumnya, Selat Bali yang sempit dan dangkal, yang memisahkan pulau ini dari Jawa, tidak pernah merupakan hambatan serius bagi perobahan. Tentu saja ada hambatan-hambatan kultural bagi penetrasi Islam – kegemaran akan daging babi adalah hal yang sering dikutip – tetapi hambatan yang sama ada di Jawa, di mana konversi kepada Islam sungguh-sungguh, sekalipun sering hanya secara nominal, bersifat universal.
Orang-orang Bali tidak pernah secara sungguh-sungguh anti Islam. Komunitas Islam terus ada (di Bali) paska Majapahit. Puri-puri dan para penguasa Bali tetap menerima kehadiran orang Muslim sebagai pedagang dan menyewa mereka sebagai tentara.
Waktu memberikan orang-orang Bali Hindu ruang nafas politik. Tidak ada kerajaan Islam yang kuat di Jawa sampai kemunculan Mataram, yang mulai pada akhir abad 16, hampir seratus tahun setelah keruntuhan Majapahit. Sementara Mataram mampu mengusir orang-orang Bali dari Belambangan secara temporer, Gelgel dan kerajaan penerusnya tetap kuat yang membuat invasi ke Bali menjadi sulit, dengan atau tanpa dukungan Belanda. (Tambahan dari saya : Bahkan Bali, diwakili oleh Buleleng atau Mengwi mampu menguasai sebagian Jawa Timur. Karangasem menguasai Lombok. Ketika Dalem Samprangan berkuasa, kekuasaannya meliputi Sumbawa. Bali pernah mempersiapkan diri untuk menyerang Mataram).
Bagaimanapun juga, Mataram pertama-tama sibuk dengan saingan-saingannya di Jawa, dan kemudian dengan Belanda, tampaknya tidak tergoda oleh pertimbangan untuk melakukan pengislaman dengan api dan pedang di antara berbagai kantong orang-orang tidak percaya sepanjang pesisir sebelah timur Jawa.
Belakangan, ekspansi Belanda melemparkan Mataram pada posisi defensif. Ketika kekuatan Belanda semakin berkembang, yang akhirnya membuat mereka mampu menguasai saingan-saingan Indonesianya, keuntungan politik yang mungkin didapat oleh para penguasa Bali melalui konversi ke Islam semakin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali.
Sekala dan Niskala.
Penjelasan singkat di atas menyatakan bahwa ketahanan Hindu di Bali disebab oleh unsur niskala dan sekala. Mana yang lebih dominan? Menurut saya adalah unsur sekalanya. Kenapa?
Kita jawab dulu apa yang dimaksud dengan sekala dan niskala, dalam pengertian umum saja. Sekala adalah segala hal yang dapat kita lihat, kita raba, hal-hal dari dunia materi ini. Niskala, adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat atau diraba, tetapi kita yakini keberadaannya. Atau hal-hal yang bersifat kerohanian seperti kepercayaan akan adanya Tuhan, para Dewa/Betara, sorga, neraka, moksha dan lain-lain.
Ketika Hindu berjaya pada jaman Majapahit, unsur niskalanya pasti ada. Tetapi karena unsur sekala diabaikan, maka Hindu runtuh dengan mudah. Majapahit runtuh bukan oleh serbuan tentara asing, tetapi oleh keyakinan asing yang diterima tanpa reserve oleh penguasa dan juga kawula yang beritikad baik dan sangat toleran tetapi tidak waspada.
Menyerahkan pemeliharaan agama Hindu hanya kepada yang niskala saja, sudah terbukti gagal. Dua buah bangunan yang sama besar, luas dan tingginya, dibuat dari bahan yang sama di tempat yang berdampingan. Satu bangunan untuk tempat ibadah. Bangunan lain untuk kasino, pusat kenikmatan, termasuk yang bersifat seksual. Bangunan pertama tidak diberi penangkal petir, karena yakin Tuhan memelihara “rumahnya”. Bangunan kedua, karena sadar tempat ini sangat berbau duniawi diberi penangkal petir. Ketika petir terjadi di wilayah itu, kemungkinan yang akan rusak terbakar adalah “rumah” Tuhan itu. Sedangkan bangunan kasino akan selamat. Hukum alam tidak akan membedakan bangunan suci atau bangunan duniawi, termasuk yang digolongkan maksiat sekalipun.
Di dalam perang antara Kaurawa dengan Pandawa di Kuruksetra, hal itu juga tercermin dengan jelas. Krishna yang merupakan lambang niskala, hanya berfungsi sebagai penasehat. Arjuna, yang merupakan simbol niskala, harus melakukan peperangan untuk menjaga kebenaran. Kenapa demikian? Manusia memiliki otonominya sendirinya; memiliki kebebasan untuk memilih dharma atau adharma. Manusia harus aktif menjaga kebenaran dan kedamaian. Dengan kata lain, yang niskala menghormati kebebasan yang sekala.
Kembali ke inti pembicaraan, Bali tetap Hindu, karena secara militer waktu itu sangat kuat. Sebelum abad 19 pulau Bali dihindari oleh pelaut asing, karena penduduknya dianggap sangat “savage” Opini ini berobah setelah maskapai pelayaran Belanda, untuk kepentingan pariwisata, membentuk opini Bali sebagai pulau sorga yang damai dan eksotik.
Demikian sekilian sejarah ...

MISTERI KISAH KELAHIRAN PANDAWA KORAWA KRISNA DAN DRONA

MISTERI KISAH KELAHIRAN PANDAWA KORAWA KRISNA DAN DRONA

Kisah Wayang legendaris Mahabharata  adalah kisah epik mengenai babad perang keluarga besar bharata yang terkenal sampai saat ini. Tentunya pembaca masih ingat dengan kisah kesaktian Krisna, Arjuna sampai kesaktian tanpa tanding dari Sang Bisma. Belum lagi tingkah licik sengkuni alias Drona. Ada Hal menarik yang jarang dikisahkan para dalang wayang yaitu misteri kisah kelahiran pandawa, Korawa Krisna dan Drona yang memiliki keunikan dan termasuk kelahiran yang fenomenal bila dikaitkan dengan jaman sekarang. Sepertinya ada misteri perlambang dibalik simbol-simbol cerita yang ada dalam kisah-kisah pewayangan yan kita dengar dan baca.
Kisah Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang ditulis oleh Bhagawan Wyasa (Byasa) atau Vyasa dari India. Bhagawan Wyasa selain sebagai penulis epos Mahabharata, dikatakan juga penyusun kitab-kitab suci Weda, Wedanta, dan Purana. Para ahli juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang mendasar antara sumber-sumber kitab suci Weda dan materi epos Mahabharata. Kisah Mahabharata ditulis dari tahun 400 SM sampai 400 M. Kata wyasa artinya ‘penyusun’ atau ‘pengatur’. Dari arti ini maka mungkin penyusun-pencipta atau pengarang-penyair pada jaman dahulu disebut wyasa. Penambahan kata bhagawan adalah sebagai penghormatan atas keahliannya. Dalam kitab-kitab suci Purana dikenal adanya wyasa yang berjumlah 28 orang. Jadi pertanyaanny adalah apakah Begawan Wyasa ini satu orang atau sekumpulan orang pujangga?
Kisah Legendaris Perang Besar Mahabharata
Sebenarnya Mahabharata pada dasarnya merupakan perang saudara antara keluarga besar Bharata. Yaitu Keluarga Pandawa dan Korawa. Mahabharata menceritakan kisah para Pandawa dan saudara sepupu mereka yang seratus, Korawa. Dalam epos ini diceritakan beberapa nama dengan karakter istimewa. Jujur saja penulis sangat tertarik dengan beberapa tokohnya yaitu Karna, Pandawa, Korawa, Drona dan Kreshna. Sebelumnya ada satu toko fenomenal dalam kisah pewayangan mahabharata dan ada juga dalam kisah Ramayana yaitu Tokoh Sakti Begawan Parasurama, Sang Maha Guru dari Bisma, Karna dan Drona. Silahkan Baca dalam Legenda Parasurama, Kisah Ramabargawa Di ramayana Dan Mahabharata .

Kelahiran Karna dan Pandawa Lima
Karna adalah putra Kunti. Kunti seorang putri yang dianugerahi sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan bisa mendapat anugerah putra darinya. Ketika Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit maka Dewa Surya pun muncul dan siap memberinya seorang putra. Dengan sabda sang Dewa, Kunti pun mengandung dan Surya juga membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Namun untuk menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang “putra Surya” yang ia beri nama Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi yang terbawa arus tersebut ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru (Hastinapura).
Pandu yang mendapat kutukan dari seorang Rhesi tidak bisa memberikan keturunan. Pandu dan Kunti pun sepakat menggunakan Adityahredaya untuk memanggil para Dewata agar mendapatkan karunia berupa putra dari mereka. Dari Dewa Dharma lahir Yudhistira, dari Dewa Vayu (Bayu) lahir Bhimasena, dari Indradewa, lahir Arjuna. Lalu sepasang anak kembar Nakula dan Sadewa lahir sebagai anugerah Sang Dewa Kembar, Dewa Ashwin melalui Madri, istri Pandu yang lain.
Kelahiran tokoh-tokoh ini tidak melalui pembuahan (persatuan sperma dan ovum) secara alami, melainkan dengan bantuan Dewata. Kisah ini seperti kisah kelahiran Nabi ‘Isa as., putra Maryam (Maria) yang mengandung dan melahirkan ‘Isa as. tanpa melalui pembuahan alami. Kisah Karna yang terpaksa dibuang/ dilarung di sungai dalam sebuah keranjang dan kemudian bayi Karna ini ditemukan dan diasuh oleh kusir kereta Kerajaan Hastinapura (yang nantinya Kunti akan menjadi permaisuri Kerajaan Hastinapura sehingga Karna dapat bertemu dengan ibunya).

Kelahiran Korawa
Gandari, istri Dretarastra, menginginkan putra dan Gandari memohon kepada Byasa (pertapa sakti), dan permohonannya lalu dikabulkan. Namun Gandari hanya melahirkan segumpal daging. Byasa kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap guci, munculah bayi laki-laki (Duryodana, Dursasana, dan saudara Korawa lainnya).
Kelahiran para Korawa adalah melalui metoda “tissue culture” (kultur jaringan). Hal ini mirip dengan teori yang pernah muncul tentang ibu Hawa yang lahir dari tulang rusuk Nabi Adam as.

Kelahiran Drona
Drona dari kasta brahmana (kaum pendeta Hindu). Drona berkembang bukan di dalam rahim, namun di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci). Dikisahkan pendeta Bharadwaja dikuasai nafsu ketika melihat bidadari yang sangat cantik mandi saat sang pendeta melakukan penyucian diri di sungai Gangga. Maninya ia tampung dalam sebuah pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut Drona lahir. Menjijikan sekali.
Drona yang bangga dengan kelahirannya dari Bharadwaja dan tanpa pernah berada di dalam rahim adalah hakekatnya kelahiran dengan metoda bayi tabung. Inilah Fenomena misteri tentang Drona yang memunculkan teori manusia hasil bayi tabung pertama?.

Kelahiran Sri Kresna
Kresna terlahir sebagai putra kedelapan Basudewa dan Dewaki.
Sebuah ramalan menyatakan bahwa Raja Kangsa, kakak sepupu Dewaki, akan mati di tangan salah satu putra Dewaki. Karena mencemaskan nasibnya, ia mencoba membunuh Dewaki, namun Basudewa mencegahnya. Basudewa menyatakan bahwa mereka bersedia dikurung dan berjanji akan menyerahkan setiap putra mereka yang baru lahir untuk dibunuh. Kangsa membunuh 6 orang anak Dewaki, kakak-kakak Krisna, begitu mereka lahir ke dunia karena khawatir kekuasaannya terancam. Dewaki kehilangan putra ketujuhnya, dan kemudian lahir Kreshna. Karena hidup Kreshna terancam bahaya, maka ia diselundupkan keluar penjara oleh ayahnya dan dititipkan pada sahabatnya di wilayah lain.
Kresna juga lahir tanpa hubungan seksual, melainkan melalui “transmisi mental” dari pikiran Basudewa ke rahim Dewaki, dan Kreshna adalah titisan Dewa Wisnu.
Ada satu kemiripan mengenai Kisah kehidupan Kreshna yang mirip dengan kisah beberapa Nabi, antara lain kisah masa Nabi Ibrahim as., Musa as. dan ‘Isa as. Kisah Nabi Ibrahim as. dimana Raja Namrud membunuh semua bayi yang dilahirkan pada masanya karena ramalan bahwa seorang bayi akan dilahirkan disana dan akan merampas takhtanya, dan demi keselamatannya Ibrahim kecil terpaksa diasingkan/ dibesarkan ibunya di sebuah gua. Kisah Nabi Musa as. dimana juga karena sebuah ramalan, Fir’aun membunuh semua anak laki-laki yang lahir dikerajaannya yang khawatir kekuasaannya terancam. Seperti juga halnya Nabi Musa as., Kreshna mempunyai kekuatan membelah laut, yaitu ketika Kreshna menyelamatkan adiknya Subadra yang dilempar kelaut. Kisah nabi ‘Isa as. yang lahir tanpa pembuahan alami. Wallahu’alam. Dalam Wayang Purwa di Jawa ada kisah para punakawan yang membantu dlam perang Mahabharata seperti Petruk, Gareng dll. Bagi yang tertarik silahkan baca dalam Sejarah panakawan Pewayangan .

Demikianlah beberapa kisah kelahiran fenomenal pandawa korawa, krisna, karna dan drona. Sebuah kisah yang sulit diterima kal bila kita mendengar kisahnya satu abad yang lalu tapi bukan hal yang mustahil bila kita mendengarnya di abad ini. Berbagai macam kelahiran mulai dari tingginya spiritual, berkah, teknologi dan juga dari hasil nafsu yangternyata menghasilkan berbagai karakter unggul dan juga tercela.

PROFIL SEMAR DALAM PEWAYANGAN SUNDA DAN JAWA

PROFIL SEMAR DALAM PEWAYANGAN SUNDA DAN JAWA

Figur Semar dalam pewayangan memiliki peran yang sangat penting meskipun tidak termasuk sebagai tokoh utama. Profil Semar Dalam Pewayangan Sunda dan Jawa ini menarik untuk kita simak dari beberapa versi yang ada. Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh punakawan (jawa) atau panakawan (sunda) paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah
Mahabharata dan Ramayana . Semar dikisahkan seorang tua yang bijaksana dan sakti dan konon merupakan perwujudan manusia dari Batara Ismaya yang turun ke bumi. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Meskipun tokoh ini merupakan sesepuh dari para ksatria dan raja-raja meskipun hidup hanya sebagai kawula atau sebagai rakyat. Bentuk kebijaksanaan, simbol rakyat dan kesederhaan tapi memiliki kekuatan dewa bila diperlukan.
Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana , tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga . Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran Semar
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda
Dikisahkan, penguasa kahyangan bernama
Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang . Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru . Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga
Dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari
Sanghyang Wenang . Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya .
Dalam naskah Purwakanda
Dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba . Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita
Dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
Batara Wungkuham
Batara Surya
Batara Candra
Batara Tamburu
Batara Siwah
Batara Kuwera
Batara Yamadipati
Batara Kamajaya
Batara Mahyanti
Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Pasangan Panakawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong . Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng . Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
Bentuk Fisik Semar
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki bagian dada seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa

Kamis, 25 Mei 2017

Dialektika Wahyu Tuhan dan Nalar Manusia


Disadari sepenuhnya atau tidak, setiap orang merasa unggul di atas makhluk lain. Yakni, dan memang demikian, manusia diciptakan Tuhan secara istimewa di atas semua makhluk lain. Nilai wujud manusia terletak bukan dari sisi kodrat penciptaan semata, tetapi pada tujuan pencipataannya, yaitu mengenal pencipta dan mengabdi padanya. Mengingat sarana yang benar-benar tepat diperlukan untuk mencapai tujuan ini, Dia lantas membekali manusia sejenis ‘utusan’ dalam dirinya yang disebut ‘akal’, sekaligus melengkapinya dengan indera lahiriah dan batiniah yang berfungsi sebagai juru bantu.
Modal keistimewaan yang melampaui semua makhluk lain ini ditanamkan-Nya dalam kemampuan manusia untuk meraih pengetahuan dan pengenalan yang tidak mungkin diperoleh makhluk lain. Itulah sebabnya, bila manusia tidak menggunakan sarana Ilahi ini secara maksimal, niscaya dirinya akan sederajat dengan—bahkan jauh lebih rendah lagi dari—binatang ternak sekalipun:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahanam keba-nyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka mempu-nyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (ayat-ayat Allah); dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan-nya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A‛raf [7]: 179).
Jelas, indera dan akal juga acapkali menemui jalan buntu sehingga diakui memiliki kelemahan dan ketidakmampuan untuk mengham-parkan seluruh rincian jalan menuju kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka juga menaruh harapan pada sarana lain yang representatif, yang mampu memetakan hubungan kehidupan di alam ini dengan di alam lain, juga menunjukkan manusia bentangan jalan ke puncak kesempurnaannya. Sungguh tepat saat pencipta langit dan bumi ini menamakan dirinya ‘Sebaik-baik Pencipta’: Dia telah menutupi semua kekurangan ini dengan fenomen wahyu. Para utusan Tuhan, dengan bermodal bukti-bukti kuat yang mustahil ditembus peluru keraguan, menyatakan diri sebagai penerima pengetahuan wahyuni, untuk kemudian mengajak umat manusia memosisikan wahyu (naql) bersanding erat dengan akal.
Dengan demikian, “utusan-utusan” internal dan eksternal diri manusia pada dasarnya saling menguatkan satu sama lain dengan catatan: pesan dan tuntunan mereka ini dicerna dengan benar (logis) dan baik (metodologis). Akal tak akan enggan menerima pengetahuan wahyuni. Sebaliknya, wahyu pun tidak mungkin membuka diri bilamana akal ditanggalkan, sebab keduanya merupakan bukti Ilahi. “Allah memiliki dua bukti atas manusia: bukti yang tampak dan bukti yang batin. Bukti yang tampak adalah para rasul dan para nabi, se-dangkan bukti yang batin adalah akal.” (Kulaini: Al-Kâfî , jld. 1, “Kitâb al-‛Aql wa al-Jahl”, hadis ke-12, hlm. 60).
Kendati begitu, relasi di antara data-data yang diajukan kedua jenis pengetahuan ini senantiasa menjadi pusat kegelisahan manusia; sejak dahulu sampai sekarang. Tidaklah berlebihan jika sejarah pemikiran manusia disebut juga sejarah gagasan seputar relasi pengetahuan aklani dan pengetahuan wahyuni. Berbagai polemik yang tampak dari produk-produk kedua sumber pengetahuan ini terus menjadi fokus kaum agamawan dan para cendekia. Sebagian kelom-pok berusaha menjatuhkan martabat akal dengan maksud melindungi kehormatan wahyu. Sementara sebagian lain begitu menjunjung tinggi posisi dan superioritas akal dengan cara menjatuhkan wahyu. Ada pula sekelompok yang mengerahkan segenap upaya untuk mendamai-kan kedua sumber pengetahuan tersebut.
Sepanjang sejarah, konflik antara akal dan wahyu memiliki dimensi dan pola yang berbeda-beda, seirama formasi wacana yang populer saat itu. Awalnya, polemik ini mengemuka dalam formasi “filsafat versus agama”. Ajaran-ajaran filosofis—dalam kapasitasnya sebagai data-data rasional yang disusun sistematis—diyakini bertolak belakang dengan ajaran agama. Akibatnya, muncul sekelompok agamawan yang berusaha mati-matian menjadikan ruang lingkup agama steril dari “kuman-kuman” filsafat. Peluru-peluru tudingan dogmatis (hitam-putih) yang mereka tembakkan tak ayal mengham-bur ke mana-mana, hingga menyasar disiplin Logika dan Teologi. Dalam rangka ini, tidak jarang dari mereka menulis buku dan risalah secara khusus; mereka menjuluki ilmu Logika sebagai “pengunyah sisa makanan orang kafir dan ateis Yunani Kuno”. Mereka juga menyerang habis-habisan kaum teolog yang bermaksud merasionalisasi agama dan keberagamaan.
Dalam bukunya, Tahâfut Al-Falâsifah, Ghazali terlihat jelas ingin menunjukkan betapa kasar pergesekan yang terjadi antara konklusi filosofis dengan ajaran wahyu. Belum lagi Ibnu Taimiyah yang secara khusus menulis Nashîhat Ahl Al-Îmân fî Al-Rodd ‘alâ Mantiq Al-Yûnân untuk memperingatkan orang-orang mukmin mengenai bahaya logika Yunani. Sementara muridnya, Ibnu Qayim yang ikut bergabung dengan kelompok penghujat Logika (Ibnu Qayim Jauzi: Miftâh Dâr Al-Sa‘âdah , hlm. 189).
Perlu digarisbawahi, hujatan-hujatan ini pada dasarnya tidak diarahkan pada akal per se; melainkan dapat dipandang sebagai serangan terhadap ajaran-ajaran tertentu yang, oleh pendukungnya, dianggap sebagai data-data rasional. Untuk lebih jelas lagi, para kritikus itu mengatakan, “Apa yang kalian sebut ‘filsafat’ tidak lebih dari hasil spekulasi, asumsi, dan pemitosan; bukan produk akal, argumentasi, dan penelitian.”
Dari sudut yang lain, kalangan sufi juga menghujat akal dan argumentasi filosofis. Dalam pandangan mereka, semua itu berten-tangan dengan gairah percintaan yang merupakan inti dari sensasi religius. Pada hemat mereka, argumentasi tidak ada gunanya. Akal dan argumentasi ibarat tongkat di tangan tunanetra; niscaya kurang berarti kalau saja tak dibantu juru yang melihat dan mengenal jalan.
Sebaliknya, kalangan filosof Muslim mengerahkan segenap kekuatan untuk membuktikan keselarasan filsafat dengan agama. Menurut mereka, memperkarakan Yunani sebagai asal-usul filsafat guna dijadikan alasan untuk menentang filsafat merupakan bentuk dari kedangkalan berpikir. Meski begitu, mereka juga mengakui sejumlah kekeliruan tak disengaja yang terdapat dalam pengetahuan manusia. Karena itu, mereka berupaya meminimalisasi kekeliruan para filosof terdahulu dan semaksimal mungkin mengharmonikan filsafat dengan ajaran Islam. Dalam filsafat Shadrian (Mulla Shadra), usaha ini tampak mencapai puncaknya. Dia memproklamirkan Hikmah Muta‘aliyah sebagai ejawantah dari integralitas Al-Quran, irfan (penyingkapan batin), dan burhân (demonstrasi). Filosof besar ini mengatakan, “Mustahil hukum-hukum agama Ilahi yang haq dan cemerlang akan bertentangan dengan pengetahuan pasti (yaqînî) dan jelas (dharûrî). Celakalah filsafat yang hukum-hukumnya tidak selaras dengan Al-Quran dan Sunah!”
Di Barat, nasib akal dan wahyu juga nyaris mirip dengan yang dialami di dunia Islam. Bedanya, penolakan terhadap akal dan ajakan kaum agamawan kepada iman minus akal (reasoning) telah me-representasi gereja sebagai institusi keagamaan yang antiakal. Ini lantaran mata ajaran agama Kristen sudah berubah, dan sama sekali tidak memiliki sangkut-paut genealogis dengan wahyu suci Al-Quran. Karenanya, dapat dibedakan: mana ajaran-ajaran suci samawi dan mana ajaran-ajaran manusiawi yang bersifat profan; juga mana yang berlandas asas Tauhid dan mana yang berdasar doktrin Trinitas. Atau, mana agama yang mengajarkan, “Siapa yang lebih giat menggunakan akalnya, tentu lebih banyak ibadahnya,” (Hadis Nabi Saw, “Siapa saja dari kalian yang lebih kuat akalnya, niscaya takutnya kepada Allah lebih dahsyat.” (M. Faidh Kasyani:
Al-Mahajjah Al-Baydhô’ fî Tahdzîb Al-Ihyâ’ , jld. 1, hlm. 172).) dan mana agama yang menyakinkan, “Iman yakni tersalibnya akal.” (R. Rerneaux & J. Wahl: Padidorsyenosi va Falsafeh0-ye Hast Bûdan , hlm. 129). Secara prinsipal, Islam adalah agama kontemplasi dan pemikiran.
Polemik akal dan wahyu ini terus berlanjut di dunia kontemporer, dan kali ini berlangsung antara sains versus agama. Sebagian data yang disodorkan oleh sains dan ilmu-ilmu empiris dianggap melawan pengetahuan wahyuni. Akibatnya, muncul perdebatan sengit di ka-langan agamawan, baik di Timur maupun di Barat. Namun, yang paling bermasalah dengan oposisi biner sains-agama ini justru kala-ngan agamawan di Barat. Sepanjang Abad Pertengahan, pengetahuan nonwahyu sudah banyak dihasilkan. Namun, menjamurnya penge-tahuan nonwahyu ini kontan mengganggu lingkungan gereja, karena apa yang selama ini mereka anggap sebagai bagian dari agama ternyata tidak relevan dengan data yang diajukan sains modern.
Pada masa berikutnya, yakni abad pasca-Renaisans, Rasionalisme menggejala dan melawan gereja yang antiakal. Puncak kebangkitan itu ditandai dengan kelahiran sejumlah isme seperti: Evidensialisme. Mereka begitu jauh memuja akal, sampai-sampai memosisikannya di tampuk ketuhanan, “Wahai alam! Wahai raja alam semesta! Dan engkau, wahai Keutamaan dan Akal serta Hakikat sebagai tuhan termulia … jadilah tuhan kami selama-lamanya” (I. Barbour: ‘Elm va Din, hlm. 77).
Keberpihakan pada akal yang terlalu rigid dan berlebihan ini bukan hanya mengusik tokoh-tokoh gereja, tetapi juga para pujangga dan seniman Barat. Mereka menuntut jatah ruang untuk hati yang diabaikan dan memandang akal sebagai tamu tak diundang; bahkan mengecam akal yang disebut-sebut hanya punya keterampilan satu-satunya, yakni mencoreng keindahan dan kebaikan. Sekarang ini, kita dipusakai sejarah agung pemikiran manusia. Dan, tak ada yang lebih mendesak kita selain berusaha sekuat tenaga untuk terjun ke medan ini seraya mencari terang di sudut-sudut pembahasan yang masih gelap.

Minggu, 21 Mei 2017

Gunung Wayang lewat Sasakala

Gunung Wayang lewat Sasakala (dalam bahasa sunda sasakala sering dikaitkan dengan asal-usul suatu kejadian baik tempat maupun perbuatan) Gunung Wayang. Nji Anah, juru mamaos Cianjuran dan penulis dari Cianjur, pernah menulis pupuh yang kemudian menjadi buku panduan wisata berjudul 'Beschrijving van Pangalengan en Omstreken'. Dalam buku tersebut, Nji Anah tak lupa mencantumkan Sasakala Gunung Wayang. Berikut kisahnya:
Tersebutlah seorang keturunan Ratu yang bernama Pangeran Jaga Lawang. Dalam kehidupannya ia sering bersemedi di puncak Gunung Wayang yang sunyi. Sang Pangeran mempunyai seorang puteri cantik tiada tandingannya. Puteri Langka Ratnaningrum, namanya. Ia sudah mempunyai calon, pemuda keturunan Galuh. Gagak Taruna, namanya, yang sedang menempa diri dengan melakoni hidup bertani di lembah Ci Tarum yang subur. Pemuda yang rajin, siang bertani, malam bersemedi.
Padi tampak subur dan hasilnya pasti akan jauh lebih banyak dari panen musim lalu. Maka disepakati untuk segera menikah dengan puteri pujaan hatinya. Seperti biasa, ia sering bersemedi di makam Nyi Kantri Manik di hulu Ci Tarum. Malam itu terlihat datang gadis cantik yang tiada taranya. Gagak Taruna kaget. Diam-diam ia jatuh hati kepada gadis itu, namun si cantik segera menghilang di mata air. Sadar itu sekedar godaan, maka ia segera pulang. Namun pikiran dan hatinya masih terus terpaut kepada si cantik di hulu Ci Tarum.
Padi sudah menguning, tapi belum juga dipanen. Rupanya Gagak Taruna sedang kasmaran kepada bayangan si cantik. Semua merasa aneh, karena Sang Pangeran terlalu sering bersemedi di hulu Ci Tarum begitu magrib menjelang. Bukan tiada yang mengingatkan, namun pemuda itu sudah terpincut senyum yang sangat memikat. Nyi Kantri Manik asalnya gadis yang cantik yang sakit hati hingga meninggalnya karena pemuda pujaan calonnya tidak menepati janji untuk bersatu. Kini ia selalu membalas dendam dan membenci semua lelaki yang lengah.
Sang Pangeran selalu diingatkan agar segera mempersiapkan diri karena waktu pernikahan sudah dekat. Padi yang sudah lama matang kemudian dipanen. Persiapan menikah besar-besaran sudah dipenuhi. Ketika waktunya tiba, iring-iringan seserahan bergerak menuju puncak Gunung Wayang tempat calon mertuanya berada.
Setelah calon pengantin pria dirias, ia memohon diri untuk melakukan nadran ke hulu Ci Tarum. Sesampainya di sana, ia menyuruh pengiringnya mundur dan segera menuju puncak Gunung Wayang, karena ia akan segera menyusul. Setelah kembang rampe, melati dan campaka ditebar, di seberang terlihat Nyi Kantri Manik tersenyum memikat. Dengan sigap Gagak Taruna berdiri, berjalan menuju ke tempat senyuman yang terus mengembang. Gagak Taruna terus berjalan di dalam air menuju bayangan hingga akhirnya tenggelam.
Di tempat calon pengantin wanita, semua gelisah menunggu, ke mana Gagak Taruna? Rombongan yang menyusulnya mendapatkan Sang Pangeran sudah mengambang. Pangeran Jaga Lawang sangat prihatin. Ia melampiaskan rasa dukanya itu dengan mengobrak-abrik apa yang ada di dapur. Hawu/tungku dilemparkan dan perabot dapur dibanting. Makanan yang dimasak dilemparkan sampai habis, maka terbentuklah kawah Gunung Wayang.
Air yang mendidih dengan lalab-lalabannya dilemparkan membentuk kawah Cibolang di Gunung Windu.Puteri Langka Ratnaningrum sangat bersedih, lalu berjalan tak tentu arah. Ternyata ia sudah berada di dalam hutan. Air mata darah terus mengucur. Itulah yang kemudian membentuk air terjun Cibeureum di Gunung Bedil. Nayaga yang masih berharap Sang Pangeran datang tak mau pergi, maka berubahlah mereka menjadi arca. Sebagian alat-alat tabuhnya dilemparkan, di antaranya membentuk Gunung Kedang. Mayit Gagak Taruna dikubur di hulu Ci Tarum. Sementara itu Pangeran Jaga Lawang menempa diri menyepuh hati, menghyang di Gunung Seda, ia selalu menanti putri yang dicintainya segera pulang.
Maka janganlah merasa heran, bila pada malam bulan purnama sering terdengar sayup-sayup bunyi gamelan. Itulah prosesi penyambutan pengantin pria. Bila terlihat asap Gunung Wayang mengepul berlapis-lapis, itu artinya keluarga pengantin perempuan sedang sibuk memasak.

Legenda Desa SUKARAME ( Sasakala )

Legenda Desa ( Sasakala )
Konon kabarnya menurut cerita rakyat semasa dengan pembnuatan situ cangkuang,ada lagi situ yang lain yaitu: situ Bagendit, situ Bedahan, Situ Sukarame , Situ Jongor dan situ Sarkanjut.
Di Desa sukarame terdapat sebuah situ atau danau yang berinama situ Sukarame yang konon katanya waktu pembuatan dipimpin oleh seorang dalem yaitu Dalem Ardi Manggala.
Ardi Manggala adalah putra dari dalem Wiranta ( Wirabaya ) yang dimakamkan di pulo gede Situ Cangkuang.
Didalam pembuatan Situ Sukarame terdapatbanyak kesulitan diantaranya setiap hampir selesai dibendung tambaknya selalu jebol.Oleh karena itu dibuat syaembara bahwa Barang siapa yang sanggup untuk menyelesaikan situ sukarame akan dijadikan menantu Dalem Ardi Manggala ,yaitu akan dikawinkan dengan anaknya yang bermnama Ny Mas Margawulan.
Syaembara tersebut sampai ke kerajaan mataram diantaranya terdengar oleh Rd Nur Alim Wijaya Kusumah. Rd Nur Alim Wijaya Kusumah menanggapi tetapi dengan syarat,yaitu meminjam Ny Mas Margawulan untuk direndam di laut selama dua minggu,tetapi dijamin tetap untuk selama hal ini untuk mengetes,apakah kuat direndam selama dua minggu atau tidak kalau tidak kuat akan tetap dijadikan istrinya dan akan mengerjakan pembuatan Situ Sukarame itu dan kalau ternyata tidak kuat berarti batal pula niatnya.
Dalaem Ardi Manggala mengabulkan permintaan itu,dan anaknya akan dibawa ke Mataram .setelah sampai di Mataram lalu dibawa kelaut dan direndamkanya setiap hari dijaga oleh Rd Nur Alim Kusumah itu. Ny Mas Margawulan selama dua minggu didalam rendaman itu tidak ada perubahan apa-apa kelihatanya segar bugar.
Setelah itu Ny Mas Margawulan di bawa lagi ke tempat semula dan diserahkan kepada ayahnya Ketika itu terus diakad tikahkan,tetapi seterusnya dititipkan kepada ayahnya ( Dalem Ardi Manggala ),dan Rd Nur Alim Wijaya Kusumah pergi ketanah Bugis untuk mengambil segenggam tanah dari sana,karena menurut pendapatnya pekerjaan ini akan selesai kalau dibubuhi tanah dari bugis.
Dengan cepat sekali Rd Nur Alim Wijaya Kusumah dapat menyelesaikan pekerjaan itu dan setelah selesai maka diberitahukanya kepada mertuanya bahwa pekerjaan telah selesai.Bukan main girang hati mertuanya setelah mendengar perkataan menantunya telah menyelesaikan tugasnya dan pergi untuk menyaksikanya.
Ketika sampai ditempat, tertegun tanda kurang setuju karena bendunganya kurang depan ( kurang girang ,bahasa sunda ) sang menatu menjawabnya,bahwa hal ini memang disengaja karena suatu ketika dikampung Kelapa dua daerah ini akan ada pasak setelah mendengan jawaban itu mertuanya menyetujuinya.
Pada acara peresmian situ dan pertikahan itu dipentaskan macam-macam hiburan,bukan saja kesenian dari daerah setempat juga dari daerah Bugis yaitu ronggeng bugis,suasana pada waktu itu sangat menggembirakan ( bahasa sunda Sukarame ) maka tempat keramian dan danaunya disebut Sukarame.
Takan lama kemudian setelah itu datanglah adik Dalam Ardi Meanggala dari kandang wesi bernama Iondra manggala ia bermaksud akan membantu sang kakak ,karena mendengar bahwa pekerjaan menemui kesulitan tetapi setelah datang pekerjaan telah selesai ia mengucapkan terimakasih kepada yang menyelesaikan itu dan ia akan bermaksud menetap disini dengan saudaranya ia terus menetap disini sampai meninggal dunia dan dimakamkan di muara dan dia tetap menjaga situ itu.
Taklama kemudian datang lagi adik dari Dalem Ardi manggala yang kedua dari paledang (Embah Paledang ) ia bermaksud akan membantu sang kaka .Embah paledang nama aslinya ( Jibja Manggala ) ia yang memindahkan Negara Dayeuh Luhur dan diganti namanya menjadi Sumedang.
Oleh karena danaunya telah selesai dibendung ia kesanggupan untuk mencari bibit ikanya ia pergi ke Mataram dan membawa bibit ikan kedalam tempurung ( bahasa sunda batok )
Sebelum itu ditanamkan dihitung dulu dan dibagi-bagi kepada lima danau tadi,kecuali situ bedah yang tidak ditanami karena situnya tidak selesai dibangun.
Pada satu tempat, ditempat itu tumpah maka tempat itu disebut cibatok yang sekarang jadi cibatek.
Suatu amanat dari Dalem Ardi Manggala danau itu khusus bagi kesejahteraan masyarakat ,Barang siapa yang mengambil barang ini atau menguasainya , maka kalau pejabat tidak akan lama memegang jabatanya itu.
Untuk menghindari dari amanat itu pada suatu ketika diadakan musyawarah dengan masyarakat tentang kemanpaatan danau itu .Oleh karena beban masyarkat berat sekali untuk membiayai kelancaran pemerintahan di Desa ,maka danau ini atas nama masyarakat diolah oleh Desa bersangkutan.Hal ini dapat meningkatkan masyarakat dan seolah-olah masyarakat yang berinisiatif.
Dalem Ardi manggala dan keluarganya lama disini sampai semuanya meninggal dan dimakamkan disekitar daerah Sukarame dan margaluyu.
Terbentuknya  Desa Sukarame
Catatan sejarah Desa Sukarame menerangkan Sebelumnya di Kampung sukarame belum ada Desa tadinya adalah masih termasuk Desa Margaluyu,dan seiring dengan kepadatan penduduk maka para tokoh dan para alim ulama mengusulkan agar Desa margaluyu dipekar menjadi dua,dan akhirnya pada tahun 1976 jadilah pemekaran Desa margaluyu menjadi dua Desa yang sekarang menjadi dua Desa yaitu Desa margaluyu sebagai Desa asal dan Desa sukarame sebagai Desa hasil pemekaran.

Harimau dan Manusia dalam Mitos,

Harimau dan Manusia dalam Mitos, Legenda, Cerita Orangtua

Bagi masyarakat beberapa tempat di Sumatera hubungan manusia dan harimau mengandung dimensi spiritual. Selain di Minangkabau, masyarakat Kabupaten Kerinci, Jambi juga melihat harimau sebagai hewan keramat, yang dihormati. Di Desa Sungai Deras, Kecamatan Air Hangat Timur, misalnya. Masyarakat masih melakukan beberapa ritual kepada sang raja hutan tersebut.3
Di Jawa Barat ada orang yang percaya ada satu kampung yang penduduknya siang hari manusia dan malam hari harimau. Bahkan di Tanah Pasundan ini, makna harimau memiliki dimensi kultural historis karena ada kepercayaan bahwa sosok Siliwangi yang merupakan representasi dari harimau (maung). Sebuah catatan pada jaman Belanda pada 1687 mengungkapkan mitos harimau ini. Catatan itu berasal dari Laporan
Scipio(peneliti asal belanda) pada Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs yang diteruskan kepada atasannya di Belanda yang isinya memberitakan kepercayaan penduduk saat itu. Adapun laporan tersebut berbunyi "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Laporan tersebut ditulis tanggal 23 Desember 1687 (baca tulisan
http://firman-raharja.blogspot.com/2008/08/harimau-siliwangi.html
).
Cerita lain ialah Babad Panjalu, yaitu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya. Pasangan ini melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang perempuan diberi nama Bongbang Kancana . Karena melanggar suatu pantangan ketika besar si kembar ini menjadi manusia harimau (baca http://raxenasukma.blogspot.com/p/mitos-maung-panjalu-bongbang-larang.html
) . .
Di daerah Kerinci, Jambi ada kepercayaan itu disebut Cindaku di mana ada manusia yang mengubah dirinya menjadi harimau malam hari. Tandanya jejadian ini bila manusia itu tidak punya belahan tengah di atas bibirnya. Di Sumatera Barat menurut cerita seorang paman saya,
siluman harimau itu diturunkan dari kakek, paman. Bila diturunkan kepada salah seorang dari keponakannya, maka keponakannya itu tidak bisa menolak. Bila diturunkan, biasanya yg menerima seperti punya kesaktian dan power. Biasanya yang ditunjuk gampang menjadi pimpinan.
Dalam cerita yang sudah berkembang, hewan yang bagi orang Minang disebut Inyiak Balang ini, ada yang jadi peliharaan orang tertentu. Pada mulanya, si harimau, suka memangsa ternak warga, kemudian juga mengganggu kenyamanan kampung. Oleh pawang harimau, Inyiak Balang ditangkap. Lalu bertuan pada manusia, siap dipanggil dan disuruh sewaktu-waktu sesuai kehendak tuannya. Hubungan antarâ tuan dengan harimau ini memang cenderung mistis.
Masih di Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Solok, ada legenda Inyiak Balang ada yang berhabitat di areal peladangan, hutan ulayat, dengan sebutan si-Ampang Limo. Sebutan lain seperti Inyiak Penjaga Kampung. Inyiak Balang sangat jarang memperlihatkan wujud aslinya (tubuh belang), melainkan bisa dibaca secara isyarat. Ketika ada seseorang yang tersesat di hutan, Inyiak Balang suka memberikan pertolongan. Sebaliknya, juga bisa marah bila ada warga yang kedapatan berbuat tidak terpuji atau kejahatan (baca tulisan Yulicef Anthony “Legenda Klasik Harimau di Minangkabau” dalam http://www.jpnn.com/read/2014/09/29/ ). Cerita ini menarik karena pas dengan cerita ibu saya bahwa “harimau jejadian” ini sebetulnya adalah penjaga kaum (semacam marga). Seorang kakak ibu yang bergabung di PRRI sering masuk hutan dan dilindungi “datuk”-nya dari mara bahaya, termasuk terkaman harimau. Di Ranah Minang, satu kampung itu merupakan tempat tinggal satu kaum. Menurut cerita ibu saya yang pernah tinggal di Sumatera Barat itu manusia harimau itudari seorang datuk (kakek). Kadang ia bersembunyi di bawah kolong rumah gadang. Di ranah Minang, ada menyebut harimau sebagai Inyak (atau nenek). Seorang kakak ibu saya kerap melempar makanan agar disantap oleh harimau jelmaan manusia itu.
Di Banten terdapat cerita rakyat tentang Syekh Mansyurudin. Dalam pengembaraannya di Banten Selatan, Masyurudin bertemu harimau yang terjepit kakinnya di kima. Ia pun melepas jepitan itu dengan perjanjian harimau dan keturunannya tidak menganggu keturunan Mansyrudin. Harimau itu menyanggupinya.

PERANAN HARIMAU LORENG MENURUT MITOLOGI JAWA

PERANAN HARIMAU LORENG MENURUT MITOLOGI JAWA

  Berdasarkan kepercayaan masyarakat jawa kuno, harimau jawa dianggap sebagai raja hutan yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau mistis. Oleh karena itu harimau jawa disebut “Mbah loreng” yang artinya Kakek berjubah loreng. Ketika seseorang berjumpa dengan harimau jawa di hutan atau di ladang, maka orang tersebut akan memanggilnya mbah.Kepercayaan ini didasari oleh keyakinan masyarakat jawa bahwa mbah loreng itu memiliki peranan dalam menjaga ketentraman suatu desa. Mereka bisa berdialog dengan manusia menggunakan bahasa khusus yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu.
Harimau jawa ini memiliki pemimpin yang berasal dari makhluk gaib. Makhluk gaib itu disebut “mbah danyang” yang berwujud harimau putih. Mbah danyang ini memiliki tugas “mbahu reksa” atau melindungi desa dan juga memimpin segenap harimau loreng di hutan.
Jika masyarakat ingin membabat alas (membuka lahan hutan untuk pemukiman), seorang sesepuh warga akan harus membakar kemenyan serta membaca mantra jawa. Maka harimau putih akan datang dan kemudian terjadi dialog. Orang yang memanggil akan meminta ijin kepada mbah danyang untuk membabat alas sebagai pemukiman manusia, karena harimau loreng adalah sang raja hutan yang harus dimintai ijin terlebih dahulu.
Konon harimau jawa tidak ingin bertemu manusia. Karena jika bertemu dengan manusia maka mbah loreng ini akan kehilangan rejeki selama 40 hari. Sehingga harimau jawa selalu menghindari pertemuan dengan manusia sejak dahulu kala.

Harimau dan kucing
Masyarakat jawa kuno percaya bahwa kucing adalah neneknya harimau. Konon di dalam hutan mereka memiliki komunitas dan wujud mereka juga seperti manusia. Dikisahkan pada suatu hari sang nenek pergi ke kampung untuk meminta api kepada penduduk, sementara cucunya yang seekor harimau disuruh menunggu di hutan.
Ketika sang nenek tiba di kampung dan masuk ke dapur di rumah warga, nenek berwujud kucing ini melihat terasi diatas tungku. Terasi itu mengeluarkan bau yang gurih dan harum, lantas si kucing ini mencoba mencicipinya dan ternyata rasanya enak. Akibatnya kucing ini kerasan dan tidak mau kembali lagi ke hutan. Akhirnya sampai sekarang kucing tetap tinggal di kampung, sedangkan cucunya yang merupakan seekor harimau ditinggal di hutan bersama saudara-saudaranya.
Terkadang harimau jawa masuk ke kampung untuk menjenguk neneknya, namun mereka tidak pernah memangsa ternak atau memakan warga. Tidak ada ceritanya harimau jawa memakan manusia dalam sejarah jawa, karena ada perjanjian antara harimau dan manusia. Jika harimau jawa memakan manusia maka mereka akan kehilangan rejeki selama 40 hari atau terkena kutukan.
Menemukan anak harimau
Orang jawa percaya bahwa harimau jawa suka membalas budi. Jika ada orang menemukan anak harimau di hutan dan memberikan kalung bawang putih dan bawang merah kepada si anak harimau, maka malamnya sang induk harimau akan mendatangi rumah orang tersebut sambil membawa daging rusa dan diletakkan di depan pintu dengan maksud membalas budi.
Harimau jawa merupakan sosok raja hutan yang bijaksana dan tidak serakah. Mereka tidak mau mengganggu manusia dan tidak mau memangsa ternak. Karena mereka memiliki komunitas di hutan dan memiliki aturan seperti layaknya manusia. Kini harimau jawa tinggal kenangan dan kisah-kisahnya tetap dikenang oleh sebagian warga.
Namun dalam perkembangan terakhir, para peneliti membantah kalau harimau jawa punah. Mereka yakin bahwa harimau jawa masih ada hingga hari ini berdasarkan temuan-temuan kuat mereka. Hanya saja peneliti belum berhasil menunjukkan bukti foto terbaru.