Wawacan Sulanjana adalah naskah kuno berbahasa Sunda yang mengandung mitologi Sunda. Judul naskah ini bermakna "Kisah Sulanjana". Kata wawacan berarti yang berarti "bacaan". Sedangkan nama Sulanjana sendiri adalah nama pahlawan utamanya, pelindung tanaman padi dari serangan Sapi Gumarang, dan babi hutan Kalabuat dan Budug Basu yang melambangkan hama yang menyerang tanaman padi. Wawacan Sulanjana mengandung kearifan lokal mengenai tradisi memuliakan tanaman padi dalam tradisi masyarakat Sunda.[1]
Mitologi dalam Wawacan Sulanjana menceritakan mitologi dewa-dewi Sunda, khususnya mengisahkan mengenai dewi padi Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Naskah ini juga menceritakan kekayaan dan kemakmuran Kerajaan Sunda
Pajajaran dengan tokoh raja legendarisnya Prabu Siliwangi. Naskah ini menggambarkan sifat kehidupan pertanian masyarakat Sunda. Asal mula Wawacan Sulanjana mungkin dapat ditelusuri dari tradisi lisan
Pantun Sunda yang dikisahkan pendongeng desa secara turun-temurun. Naskah Wawacan Sulanjana yang kini ada diduga disusun pada kurun waktu kemudian, mungkin sekitar abad ke-17 dan ke-19 ketika masyarakat Sunda mulai dipengaruhi dan masuk ajaran Islam. Naskah ini mengandung beberapa mitologi Islam, misalnya dewa-dewi Sunda dianggap keturunan nabi Adam dalam tradisi agama samawi, juga Idajil dikaitkan dengan setan atau iblis dalam tradisi Islam. Terdapat juga pengaruh Jawa, misalnya dikaitkan dengan mitologi Batara Ismaya (Semar), serta menyinggung kisah Dewi Nawang Wulan. Pada 1907 Pleyte menerjemahkan kumpulan kisah "Wawacan Sulanjana".
Ringkasan
Kisah dimulai dengan mitologi penciptaan jagad raya oleh dewa tertinggi Sang Hyang Kersa, dengan kaitan aneh yang agak dipaksakan antara dewa ini dengan tokoh nabi
Adam yang disebutkan sebagai leluhur dewa-dewi Sunda. Bagian ini sangat mungkin ditambahkan kemudian, terhadap mitologi asli Sunda, untuk memasukkan gagasan, mitologi dan iman Islam ke dalam sistem kepercayaan Sunda. Dewa tertinggi dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, Sang Hyang Kersa ("Yang Berkehendak") disebutkan menciptakan dunia serta dewa-dewi lainnya, seperti BatariSunan Ambu, dan Batara Guru (disamakan dengan dewa Siwa dalam agama Hindu). Banyak dewa-dewi lainnya merupakan adaptasi dari dewa-dewi Hindu, seperti Indra dan Wisnu. Batara Guru berkuasa di kahyangan atau swargaloka sebagai raja para dewa. Sang Hyang Kersa juga menciptakan tujuh Batara (makhluk setengah dewa) yang diturunkan di Sasaka Pusaka Buana (Tempat Suci di atas Bumi), mereka berkuasa di berbagai tempat di tanah Sunda dan menurunkan manusia, khususnya orang Sunda.
Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya.
Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas. Betapa tidak, ia samasekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk bekerja. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat dipotong, dan itu berarti kematian. Anta sangat ketakutan, kemudian ia meminta nasihat Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa Anta pun menangis terdesu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.
Akan tetapi ketika tetes air mata Anta jatuh ke tanah, dengan ajaib tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang yang indah. Barata Narada menyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar dia memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja membangun istana.
Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung elang (ada beberapa versi yang menyebutkan burung gagak) yang kemudian menyapa Anta dan menanyakan kemana ia hendak pergi. Karena mulutnya penuh berisi telur Anta hanya diam tak dapat menjawab pertanyaan si burung. Sang elang mengira Anta sombong sehingga ia amat tersinggung dan marah.
Burung itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu elang pergi. Tetapi sang elang tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah. Dua telur yang pecah itu jatuh ke bumi dan menjelma menjadi dua babi hutan Kalabuat dan Budug Basu.[2] Kamudian Kalabuat dan Budug Basu dipelihara Sapi Gumarang. Sapi ini merupakan penjelmaan ajaib akibat seekor sapi betina secara tidak sengaja meminum air kemih iblis Idajil sehingga hamil dan melahirkan Sapi Gumarang.
Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib, Batara Guru memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas.
Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun menetas. Akan tetapi secara ajaib yang keluar dari telur itu adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya.
Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu. Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi.
Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu. Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci. Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak ada jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci.
Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melakukan dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan ditempat yang jauh dan tersembunyi.
Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia.
Dari kepalanya muncul pohon
kelapa.
Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur.
Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum
Dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis.
Dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren atau
enau bersadap nira manis.
Dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu.
Dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia.
Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi baik hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia. Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuno.
Di kerajaan swargaloka, Batara Guru memerintahkan Batara Ismaya untuk turun ke bumi dalam wujud sebagai
Semar, untuk membawa benih padi ke Kerajaan Pajajaran sebagai bahan makanan untuk umat manusia. Batara Guru juga mengirimkan putrinya
bidadari (apsara) Nawang Wulan untuk membawa nasi kepada manusia. Nawang Wulan adalah salah satu dari tujuh bidadari yang kadang-kadang turun ke bumi untuk mandi di kolam yang jernih. Mereka turun ke bumi menggunakan kain selendang warna-warni yang membuat mereka dapat terbang dan bepergian antara bumi dan kahyangan. Ketika mereka turun ke bumi, tujuh warna kain selendang mereka membentuk tujuh berkas warna pelangi. Kisah Nawang Wulan juga dapat ditemukan dalam dongeng Jawa yaitu Jaka Tarub. Nawang Wulan turun ke bumi dan menikahi Prabu
Siliwangi raja Pajajaran. Nawang Wulan secara ajaib memasak nasi dengan memasukkan setangkai padi ke dalam wadah bambu dan secara ajaib berubah menjadi nasi masak yang siap disantap. Ia merahasiakan cara ajaib menanak nasi ini dan memerintahkan tidak ada seorangpun yang boleh mendekati dan membuka pendaringannya. Pendaringan adalah semacam lemari tradisional di dapur tempat menyimpan beras dan perabot memasak, secara tradisional dianggap sebagai wilayah kewenangan istri (kaum perempuan). Pada suatu hari sang raja penasaran akan cara memasak nasi dan mengintip ke dapur dan akhirnya mengetahui cara ajaib menanak nasi rahasia Nawang Wulan, ia kemudian membuka pendaringan Nawang Wulan. Karena sang raja telah melanggar sumpahnya untuk tidak mendekati dapur dan membuka pendaringan, maka ajian ajaib untuk menanak nasi menjadi gagal, batal dan tak dapat lagi dilakukan oleh Nawang Wulan. Nawang Wulan kemudian terbang kembali ke swargaloka meninggalkan Raja Siliwangi. Karena hal ini Semar harus mengajarkan umat manusia cara menanak nasi yang lebih rumit dan menghabiskan waktu dan tenaga, cara menanak nasi tradisional inilah yang dapat kita temukan sekarang.
Sebelumnya disebutkan bahwa celeng (babi hutan) kembar Kalabuat dan Budug Basu terlahir dari telur pecah yang berasal dari air mata Antaboga, dan dua telur ini jatuh ke bumi. Kedua celeng ini diasuh oleh sapi Gumarang. Gumarang adalah sapi jejadian yang jahat sebagai hasil seekor sapi meminum air seni iblis Idajil, karena itulah sapi Gumarang bertabiat jahat. Setelah tumbuh dewasa, Kalabuat dan Budug Basu berusaha mencari saudari mereka dan menemukan makam Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Mereka melingkari makam tujuh kali dan kemudian mati di atas makam saudarinya.
Sementara Dampo Awang dari tanah sebrang datang ke kerajaan Sunda dengan kapalnya untuk membeli beras. Karena padi dianggap suci oleh rakyat Sunda dan merupakan hadiah dari dewata, maka tak ada yang berani menjualnya. Prabu Siliwangi menolak menjual simpanan beras di leuit (lumbung) di kerajaannya. Dampo Awang marah dan membalas dendam dengan membujuk Sapi Gumarang untuk menghancurkan tanaman padi di kerajaan Sunda.
Sapi Gumarang mengambil mayat celeng Kalabuat dan Budug Basu dari makam Pohaci dan membawanya keliling dunia. Secara ajaib mayat Kalabuat dan Budug Basu berubah wujud menjadi berbagai binatang: babi, celeng, tikus, serangga, dan berbagai jenis hama tanaman padi. Adalah sifat alamiah Kalabuat Budug Basu untuk bersatu dengan saudarinya, yaitu dengan cara memakan tanaman padi. Karena itulah celeng Kalabuat dan Budug Basu dianggap perwujudan hama perusak tanaman dalam kepercayaan tradisional Sunda.
Untuk melindungi tanaman padi, Batara Guru memerintahkan putranya, Sulanjana yang diasuh dan dibesarkan oleh DewiPertiwi, untuk datang ke kerajaan Sunda dan memerangi Gumarang serta hama perwujudan celeng Kalabuat dan Budug Basu. Dalam beberapa kisah, Sulanjana disamakan dengan tokoh Sedana dibantu oleh saudari kembarnya untuk melawan Sapi Gumarang. Mereka bertempur hebat hingga Sulanjana akhirnya berhasil mengalahkan Sapi Gumarang. Gumarang memohon agar Sulanjana mengampuninya dan tidak membunuhnya. Sulanjana menyetujuinya, dengan syarat sebagai balasan atas nyawanya, Gumarang harus membantu Sulanjana menjaga dan merawat tanaman padi, sebagai upahnya Sulanjana memberi Gumarang makanan daun pakis. Sapi Gumarang akhirnya berubah menjadi kerbau dan membantu Sulanjana membajak sawah untuk menanam padi di sawah.
Kamis, 12 Maret 2015
Wawacan sulanjana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar