Rabu, 12 April 2017

Kala Sunda dalam “Ijtihad” Bah Ali

Kala Sunda dalam “Ijtihad” Bah Ali

@dedeyusuf_1 : ‘Undur waktu, datang wayah, mapag jaman anyar. Wilujeng Taun Baru Sunda… Warsa Caka 1948 Bulan Kartika 1 suklapaksa paro caang dina sukra pon waktu warigagung’.

Demikian tweet yang ditulis oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, Kamis (3/11) lalu. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa Hari Jumat (4/11) merupakan Tahun Baru Sunda. Setidaknya, begitulah menurut “ijtihad” Ali Sastraamidjaja (meninggal dunia pada 25 September 2009). Ia memperkenalkan kembali sistem penganggalan Sunda secara luas kepada khalayak, enam tahun lalu, bertepatan dengan memontum Tahun Baru 1941 Caka Sunda. “Ini hasil penelitian saya selama sembilan tahun. Selama itu, saya telah ‘menghabisan’ sembilan komputer,” ujarnya, saat bertemu “PR”, Selasa (18/1/2005).
Saat itu, Bah Ali –demikian ia akrab disapa—dengan bangga memperkenalkan hasil kerja kerasnya. Soalnya, selama lebih dari lima ratus yahun, sistem penanggalan Sunda tak lagi akrab dengan masyarakat Sunda sendiri. Padalah. Hingga kini, praktik “hitung-menghitung hari baik” masih dilakukan oleh orang Sunda yang “pandai”. Malah, orang Sunda sendiri –meski tak semuanya- merasa belum afdal jika hajat mereka (seperti pernikahan, membangun rumah, dan sebagainya) tak “dihitung” terlebih dahulu. “Padahal, itu bukan berdasarkan sistem penanggalan Sunda, melainkan Jawa yang sebenarmya pengaruh dari sistem penanggalan India,” katanya.
Menurut dia, tahun-tahun peristiwa sejarah Sunda telah dipersepsi secara salah. Soalnya, tahun-tahun yang termuat di prasasti ataupun astefak selalu dianggap sebagai Tuhan Saka India. Dengan demikian, jika dialihkan ke Masehi, tinggal ditambah 78 tahun. “Soalnya, 1 Saka sama dengan 78 Masehi. Semua itu tak lepas dari pengaruh budaya Mataram Jawa yang juga memasukkan sistem pananggalannya,” tuturnya.
Padahal, sistem penanggalan Jawa (Mataram) –yang disebut Kala Pranata Mangsa—jauh berbeda dengan sistem Sunda. Sistem itu pun mencampurkan sistem aka Sunda, Saka Sunda, dan Hijriah. Menurut Bah Ali, kelahiran sistem penanggalan itu dibidani oleh Sultan Agung pada 1633 Masehi. “Berdasarkan bukti tertulis, pemberlakuan sistem itu bertepatan dengan pendirian Kerajaan Mataram. Namun, tidak diawali dengan Tahun 1, tetapi langsung 1555,” katanya.
Saat itu, Bah Ali mengungkapkan salah satu contoh, yakni tanggal berdirinya Kota Bogor. Berdasarkan perkataan Prabu Terusbawa, Bogor berdiri pada Radite Pon, 09 Suklapaksa, bulan Yista (08), taun 591 Caka Sunda (=31 Oktober 695 Masehi Julian). Ternyata, di media massa, Hari Jadi Kota Bogor justru pada tanggal 3 Juni. Selain itu, menurut Saleh Danasasmita, berdirinya Kerajaan Padjadjaran pada 12 Suklapaksa, bulan Sitra (6), taun 1404 Caka Sunda (= 13 Maret – 11 April 1428 Masehi Julian). Padahalm berdasarkan perhitungan Bah Ali, tanggal itu bertepatan dengan 14 Juni 1484 Masehi Julian.
Bah Ali berani memastikan bahwa sebelum Islam masuk ke pulau Jawa, catatan sejarah Indonesia yang menggunakan angka tahun pastilah menggunakan Caka Sunda. Soalnya, dalam pandangan dia, penanggalan Sunda merupakan satu-satunya sistem yang digunakan dalam mencatatkan peristiwa sejarah. Akan tetapi, celakanya, oleh para ahli sejarah, sistem itu dianggap sama dengan penanggalan India. “Di sinilah letak kesalahannya. Padahal, sistem penanggalan Sunda merupakan Kala Candra bukan Surya. Buktinya, dikenal istilah Suklapaksa (paro caang bulan) dan Kresnapaksa (paro poek bulan). Jadi, tidak ditambah 78 tahun,” ucapnya.
**
Lantas, bagaimana sistem penaggalan Sunda hasil “ijtihad” Bah Ali? Berikut ini, “PR” sajika kembali hasil obrolan dengan Bah Ali, enam tahun lalu. Sistem penanggalan Sunda mengenal dua macam tahun, yakni Tahun Surya dan Tahun Candra. Masing-masing tahun juga mengenal tahun pendek (Surya 365 hari; Candra 354 hari) dan tahun panjang (366 hari; Candra 355 hari). Kala Surya Saka Sunda (Tahun Surya) mengenal aturan, “tiga tahun pendek, keempatnya tahun panjang. Akan tetapi, setiap tahun habis dibagi 128, dijadikan tahun pendek . akhir tahun Surya adalah ketika matahari berada di titik paling selatan”. Sementara, aturan mengenai Kala Candra Caka Sunda (Tahun Candra) adalah dalam sewindu (delapan tahun), tahun ke-2, ke-5, dan ke-8 adalah tahun panjang, sisanya tahun pendek. Setiap tahun ke-120, dijadikan tahun pendek. Setiap tahun ylang habis dibagi 2.400 dijadikan tahun panjang”.
Kala Candra pun memiliki keistimewaan tersendiri, yakni ciples. Artinya, jika awal windu (biasanya disebut indung poe ) Senen Manis, akhirnya adalah Ahad Kaliwon. Keistimewaan lainnya, indung poe baru berganti setelah 120 tahun, mulai dari Senen Manis, Ahad Kliwon, Saptu Wage, Jumaah Pon, Kemis Pahing, Rebo Manis, Salasa Kliwon, hingga terakhir Rebo Pahing. Jika dihitung, “kejadian” itu berlangsung dalam waktu 84.000 tahun. Artinya, pada tahun ke-84.001, indung poe kembali ke Senen Manis. Dalam perjalanan 84.000 tahun itu, sistem penanggalan Sunda juga mengenal “Dewa Taun”, yakni hari pertama dan terakhir setiap kurun waktu 2.400 tahun.
Satu hal yang dibanggakan Bah Ali adalah soal ketepatan Kala Candra Caka Sunda yang dapat diuji secara ilmiah. Hitunganya begini, dalam sewindu, sistem penanggalan Sunda mengenal 5 tahun pendek dan 3 tahun panjang. Dengan demikian, hitungannya menjadi (5 x 354) + (3 x 355) sama dengan 2.835 hari per windu. Selanjutnya, 120 tahun sama dengan 15 windu. Dengan demikian, [(2.835 x 15)-1] sama dengan 42.524 hari per 120 tahun.
Lalu, perolean angkan tersebut dibandingkan dengan perhitungan secara ilmiah. Berdasarkan ilmu astronomi, perhitungan jumlah hari dalam 120 tahun adalah 12 x 29,53059 x 120 sama dengan 4.2524.0496. Artinya, terdapat selisih 0,0004133 hari per tahun. Jika dikalikan 2.420, angka selisih tersebut sama dengan 1. Itu berarti, dalam kurun waktu 2.420 tahun, terjadi selisih 1 hari.
Untuk mempertahankan aturan yangbaku, Nah Ali tidak menambah 1 hari setiap 2.420 tahun, tetapi 2.400. Jadi, hitungannya, pada 2.400 tahun pertama, 0,0004133 x 2.400 sama dengan 0,99192 hari per 2.400 tahun. Lantaran dibularkan menjadi 1 hari, maka terdapat kelebihan 0,00808 hari per 2.400 tahun. Selanjutnya, pada 2.400 tahun kedua, (0,0004133 x 2.400) + 0,00808 sama dengan 1 hari per 2.400 tahun (kedua). Kesimpulannya, setiap 2.400 kedua, angka selisih itu menjadi ciples 1. Soalnya, di dalam aturannya, sistem penanggalan Sunda menetapkan setiap tahun ke-2.400 sebagai tahun panjang. Artinya, selisih 1 hari antara perhitungan Sunda dan Astronomi tak lagi terjadi (lunas). Untuk 2.400 tahun seterusnya, sistem perhitungan kembali ke awal.
Lalu, Bermaknakah Informasi Tahun Baru?
Polemik segera muncul ketika sistem penanggalan Sunda diperkenalkan (kembali) oleh Ali Sastraamidjaja, enam tahun lalu. Berbagai kritik terhadap “ijtihad” Bah Ali berseliweran, terutama di media massa. Salah saru kritik itu datang dari Irfan Anshory melalui artikel berjudul “Mengenal Kalemde Hijriah” (“PR”, 28/1/2006). Menurut dia, Kala Sunda memiliki sejumlah kejanggalan.
Dalam penentuan awal bulan, misalnya Kala Sunda justru menetepkan tanggal 1 ketika bulan sudah berwujud setengah lingkaran. Padahal, Kala Sunda mengadopsi istilah Sansekerta, yakni suklapaksa (paro caang ), yang arti sesungguhnya “separuh bulan ( half-moon ) sebelum purnama”.
Bahkan, di dalam artikel itu, ia menilai bahwa Kala Sunda itu merupakan kalender modern yang ditamu dari berbagai sistem kalender lain, lalu dimodifikasi agar kelihatan berbeda dengan kalender-kalender sebelumnya. Intinya, Kala Sunda merupakan kalender baru ciiiptaan Bah Ali yang patut dihargai. “Namun, janganlah kita gegabah mengatakannya sebagai warisan leluhur Ki Sunda sebab belum pernah ada kalender seperti itu”, katanya.
Menurut Irfan, Kala Sunda persis sama dengan sistem kalender Jawa, bahkan, bak pinang dibelah dua. Dalam sewindu, terdapat tiga tahun kabisat. Saru hari dihilangkan setiap 120 tahun sehinggal jika misalnya awal windu ( indung poe ) Senen Manis, awal windu selanjutnya Senen Manis juga. “Jadi, sama sekali tidak ada kelebihan Kala Sunda dari kalender karya Sultan Agung yang selama ini dipakai oleh masyarakat Sunda. Semua meniru kalender Saka, kecuali nama hari Tumper (Sabtu) yang entah dari mana diambil”, tuturnya.
**
Beberapa hari kemudian (“PR”, 2/2/2006), Irfan
dirempug oleh dua orang sekalugus, yakni Nandang Rusnandar (melalui artikel “Kala Sunda dan Orang Awam”) dan Roza Rahmadjasa Mintaredja (artikel “Matematika Dalam Kala Sunda”). Menurut Nandang, Bah Ali bukanlah seorang pencipta, melainkan sosok yang menemukan kembali titinggal karuhun Sunda. Soalnya, Kala Sunda sudah dipergunakan ratusan –bahkan ribuan—tahun yang lampau. Salah satunya ada di Prasasti Batu Tulis di Bogor (Prasasti Sri Jayabhupati): “//O// Swasti cakawarsita 952 kartika-masa tithi dwadaci cuklapaksa. Ha. Ka. Ra. Wara tambir… (Selamat. Dalam tahun Saka 952 Bukan Kartika tanggal 12 bagian terang hari hari yang Kaliwon-Ahad-Wuku Tambir…)”. “Tanggal 12s Kartika 952 C, bertepatan dengan tanggal 7 Juli 1405 M,” tulis Nandang.
“Serangan” tak kalah sengit dilancarkan Roza Mintaredja. Menurut dia, tak banyak orang yang paham bahwa indung poe aboge (Sunda Mataram,
taun alip rebo wage ) telah berubah menjadi alapon (Sunda Mataram, taun alip salasa pon ). Di dalam Kala Sunda, alapon adalah ketukal (taun kebo tumpek [Saptu] Kaliwon). Itulah sebabnya, orang Sunda yang masih menggunakan indung poe aboge, hanya sebagai pengguna tanpa mengetahui asal-usul. Dengan demikian, dasar perhitungannya menjadi salah karena tanpa perubahan.
Ia mengatakan bahwa setiap satu tunggul taun (15 windu = 120 tahun), terjadi perubahan indung poe (khuruf). Tunggul taun ke-3 (Sunda Mataram)
indung poe -nya adalah aboge (taun Alip Rebo Wage) yang berlaku dari tahun 1866 M hingga 1982 M. hal itu hampir bersamaan dengan
tunggul taun ke-16 di Kala Sunda yang indung poe -nya adalah keradnis (taun Kebo Radite/Minggu Manis) berlaku dari 1869 M hingga 1985 Masehi. “Dengan demikian, tunggul taun ke-17 dalam Kala Sunda, indung poe -nya ketukal (taun Kebo Tumpek Sabtu/Kaliwon) yang berlaku dari 1985 M hingga 2102 M”, katanya.
**
Thomas Djamaluddin, pakar Astronomi dan Astrofisika di Lapan Bandung, pun tergerak untuk
ulubiung dalam persoalan ini. Ia melihat adanya sejumlah persoalan pokok di dalam Kala Sunda yang mesti dijawab. Persoalan pertama, penentuan awal bulan pada saat bulan separuh (tanggal 7 atau 8 qamariyah, penanggalan berdasarkan bulan). Soalnya, secara astronomis, hal itu janggal. Pada sistem kalender qamariyah (lunar; candra), umumnya, awal bulan ditandai dengan bulan baru atau hilal (sabib pertama) atau bulan mati (saat sama sekali tidak ada cahaya pada bulan).
Selain itu, Kala Candra Caka Sunda mendefinisikan suklapaksa sebagai paro caang (bulan separuh terang), dari bulan setengah lingkaran, dengan melewati masa terang purnama. Sementara kresnapaksa didefinisikan sebagai paro poek (bulan separuh gelap), tetapi melewati bulan mati atau bulan baru. Bagaimanapun, dua istilah itu tak terlepas dari tradisi Hindu (bahasa Sansekerta), yakni sukla (terang) dan paksha (bulan setengah) serta krishna (gelap) dan paksha. Shuklapaksha berarti rentang lima belas hari pertama pada saat bulan purnama. Sementara krishnapaksha adalah setengah bulan berikutnya, saat bulan makin gelap, dari pernama hingga bulan mati.
Menurut dia, secara astronomis pun, akurasi sekian ribu tahun tidak bermakna keunggulan, terutama bila dibandingkan dengan realitas bulanan yang bisa menyimpang satu hari dari fenomena bulan separuh atau bulan sabir. Jika mau, kalender Masehi pun bisa menggunakan koreksi setiap 128 tahun. Apalagi, scara sistematis, mudah dihitung koreksi berapa tahun yang harus dilakukan untuk mendapatkan tingkat akurasi tertentu. Lantas, apakah angka 128 merupakan aturan Kala Surya Saka Sunda yang asli dari dokumen sejarah atau hasil hitungan matematikan abad ke-20? (tulisan selengkapnya bisa dilihat di
www.tdjamaluddin2.wordpress.com ).
Sistem tahun kabisat, hisab urfi yang berganti 29 dan 30 hari, dan cara koreksi sejenisnya memang memberikan angka akurasi jangka panjang. Semakin banyak koreksinay akan semakin akurat. Namun, perlu dipertanyakan, siapa ang berwenang menjaganya untuk jangka panjang? Dulu, kalender Masehi dikoreksi oleh Paus berdasarkan saran astronom, tetapi saat in dikontrol oleh lembaga-lembaga astronomi. Kalender Sakan Jawa ditentukan oleh sultan berdasarkan perhitungan para ahli kalender keraton.
Sementara kalender Hijriah, dulu, dikeluarkan oleh khalifah, taja, atau sultan. Namun, kini, sudah banyak ahli hisab yang dapat membuatnya, dengan panduan kriteria yang disepakati secara internal organisasi Islan, nasional, ataupun regional. Kalender hijriah modern tak lagi mengggunakan aturan hisab urfi, tetapi selalu disesuaikan dengan kreteria hisab rukyat. Pervedan yang terjadi bukanlah karena akurasi yang rendah, melainkan belum adanya kreiteria yang disepakati.
Lantas, bagaimana dengan Kala Sunda? Akurasi sekian ribu tahun takkan berarti apa-apa jika, pada realitasnya, tidak ada otoritas yang menjaganya. Salah sarunya, memberikan koreksi setiap 128 tahun (Kala Surya) atau setiap 120 tahun (Kala Candra).
Selain merekonstruksi sejatah, kajian kalender juga berfungsi untuk membantu masyarakat dalam mengadakan kegiatan atau ritus tertentu. Oleh karena itu, kalender yang hidup hingga kini hanyalah kalender yang digunakan oleh masyarakatnya secara luas. Kalender Masehi terus digunakan secara sifat globalnya dan katerkaitannya dengan musim. Kalender Hijriah terpelihara karena diperlukan untuk mementukan waktu pelaksanaan ibadah umat Islam. Begitu pula dengan kalender Saka Jawa, lesteri karena terkait dengan penyelenggaraan berbagai tradisi Jawa. Lalu, apa peran Kala Sunda di masyarakatnya? “Hingga saat ini, belum ada kegiatan atau ritus di masyarakat Sunda yang bergantungn kepada sistem penanggalan Sunda. Dengan demikian, informasi mengenaiTahun Baru Caka Sunda pun menjadi tidak bermakna”, tulis Thomas. (Hazmirullah/”PR”)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar