Jumat, 26 Mei 2017

Mengapa Bali tetap Hindu?


Sesungguhnya kita orang Bali bukanlah pedagang yang mumpuni apalagi keberanian untuk menawarkan Agama pada orang Non Hindu. Kita berprinsip bahwa Agama Hindu adalah sebuah sumur atau sumber air bersih, maka jika kalian merasa haus datanglah kepada Nya untuk menimba airnya. Sumur tidak bersifat komersial dan dia bukan air kemasan yang ber merk dan bertarif yang bahkan berebut untuk di iklankan.
-Budi Sihing-
Pasca Runtuhnya Majapahit pada abad 15, hampir seluruh Nusantara menjadi Islam, kecuali beberapa wilayah di Indonesia Timur yang Kristen.
Bali, menurut mendiang Clifford Geertz , sebuah pulau Hindu yang munggil, menyembul di tengah samudera Islam. Mengapa Bali tetap Hindu? Apa yang menghalangi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa masuk ke Bali?
Satu sebab yang luas dipercaya adalah bahwa para tokoh Hindu, seperti Danghyang Nirartha telah membangun benteng niskala di seluruh pesisir Bali yang tidak bisa ditembus oleh para penyerbu dari luar. Mungkin saja hal ini benar dari sudut niskala. Tetapi Robert Pringle dalam bukunya “A Short History of Bali, Indonesia’s Hindu Realm” memberikan analisis dari aspek sekala yang masuk akal.
Tidak pernah tercatat kehadiran yang signifikan dari komunitas Muslim di Bali. Hampir tak pernah ada ekspansi ke Bali untuk menyebarkan agama Islam.
Pada saat Majapahit mulai kehilangan dominasinya atas Nusantara, sebagian besar wilayahnya menjalani Islamisasi tapi tetap dengan budaya maritim. Bali tidak. Tidak seperti Jawa, Bail tidak memiliki pelabuhan perdagangan utama. Sulit dipahami seperti itu mungkin, rempah-rempah tidak signifikan tumbuh di Bali juga. Pedagang dari Asia Selatan dan Timur Dekat berlayar ke Malaka, Jawa atau Kalimantan - menikahi penduduk setempat sambil memperkenalkan Islamisme untuk bangsawan lokal - dan melakukan kontak dengan orang-orang dari Timur (Sunda, Maluku dan Buru), sementara Bali sama sekali dilewati?
Bali masih bercorak masyarakat agraris. Saat itu, ketika semua orang di Nusantara terlibat dalam proses kompleks (dan dipolitisasi) panjang perdagangan rempah-rempah melalui maritim Jalur sutra (Silk Road) sepanjang jalan ke Eropa, di Bali tumbuh beras dan makanan pokok lainnya di tanah Bali dengan suburnya (perhatikan bahwa Bali dengan ciri masyarakat agraris, seperti Jepang, cenderung terlihat untuk menjauh dari laut, karena itu terutama gunung berapi yang memainkan peran untuk kesuburan tanahnya).
Bali tetap terisolasi dan tidak terganggu selama 300 ratus tahun sejak jatuhnya Majapahit. Selama Pemerintahan Belanda (saat dikuasai Prancis) memastikan kedaulatannya setiap sudut bumi nusantara. Untuk sementara Belanda tetap mempertahankan Hindu sebagai agama di Bali.
Dengan demikian, Bali dan Aceh adalah tempat terakhir di kepulauan Indonesia untuk belum jatuh ke dalam kekuasaan Belanda secara penuh pada abad kedua puluh. Pada saat tentara Belanda menyerang kerajaan Bali selatan (di mana Denpasar terletak) pada tahun 1908 M, hampir semua penguasa keturunan lokal bertindak baik sebagai bawahan, penguasa boneka atau hanya simbol entitas sub-kolonial Belanda yang dikelola lokal .
Lebih mudah untuk menetapkan misi misionaris di bawah piagam lokal. Mencoba untuk mengubah penganut lokal dari keyakinan mereka telah "membeli dari seribu tahun" sia-sia, berakhir tanpa dukungan dari penguasa lokal.
Di bawah subjudul “Why Bali Remained Hindu” Pringle menulis sebagai berikut: Kenapa, setelah keruntuhan Mahapahit, Bali tetap jauh tinggi
(aloof) dari kecendrungan kepulauan Nusantara dan gagal memeluk Islam? Geografi tentu saja bukan jawaban yang cukup; seperti dicatat sebelumnya, Selat Bali yang sempit dan dangkal, yang memisahkan pulau ini dari Jawa, tidak pernah merupakan hambatan serius bagi perobahan. Tentu saja ada hambatan-hambatan kultural bagi penetrasi Islam – kegemaran akan daging babi adalah hal yang sering dikutip – tetapi hambatan yang sama ada di Jawa, di mana konversi kepada Islam sungguh-sungguh, sekalipun sering hanya secara nominal, bersifat universal.
Orang-orang Bali tidak pernah secara sungguh-sungguh anti Islam. Komunitas Islam terus ada (di Bali) paska Majapahit. Puri-puri dan para penguasa Bali tetap menerima kehadiran orang Muslim sebagai pedagang dan menyewa mereka sebagai tentara.
Waktu memberikan orang-orang Bali Hindu ruang nafas politik. Tidak ada kerajaan Islam yang kuat di Jawa sampai kemunculan Mataram, yang mulai pada akhir abad 16, hampir seratus tahun setelah keruntuhan Majapahit. Sementara Mataram mampu mengusir orang-orang Bali dari Belambangan secara temporer, Gelgel dan kerajaan penerusnya tetap kuat yang membuat invasi ke Bali menjadi sulit, dengan atau tanpa dukungan Belanda. (Tambahan dari saya : Bahkan Bali, diwakili oleh Buleleng atau Mengwi mampu menguasai sebagian Jawa Timur. Karangasem menguasai Lombok. Ketika Dalem Samprangan berkuasa, kekuasaannya meliputi Sumbawa. Bali pernah mempersiapkan diri untuk menyerang Mataram).
Bagaimanapun juga, Mataram pertama-tama sibuk dengan saingan-saingannya di Jawa, dan kemudian dengan Belanda, tampaknya tidak tergoda oleh pertimbangan untuk melakukan pengislaman dengan api dan pedang di antara berbagai kantong orang-orang tidak percaya sepanjang pesisir sebelah timur Jawa.
Belakangan, ekspansi Belanda melemparkan Mataram pada posisi defensif. Ketika kekuatan Belanda semakin berkembang, yang akhirnya membuat mereka mampu menguasai saingan-saingan Indonesianya, keuntungan politik yang mungkin didapat oleh para penguasa Bali melalui konversi ke Islam semakin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali.
Sekala dan Niskala.
Penjelasan singkat di atas menyatakan bahwa ketahanan Hindu di Bali disebab oleh unsur niskala dan sekala. Mana yang lebih dominan? Menurut saya adalah unsur sekalanya. Kenapa?
Kita jawab dulu apa yang dimaksud dengan sekala dan niskala, dalam pengertian umum saja. Sekala adalah segala hal yang dapat kita lihat, kita raba, hal-hal dari dunia materi ini. Niskala, adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat atau diraba, tetapi kita yakini keberadaannya. Atau hal-hal yang bersifat kerohanian seperti kepercayaan akan adanya Tuhan, para Dewa/Betara, sorga, neraka, moksha dan lain-lain.
Ketika Hindu berjaya pada jaman Majapahit, unsur niskalanya pasti ada. Tetapi karena unsur sekala diabaikan, maka Hindu runtuh dengan mudah. Majapahit runtuh bukan oleh serbuan tentara asing, tetapi oleh keyakinan asing yang diterima tanpa reserve oleh penguasa dan juga kawula yang beritikad baik dan sangat toleran tetapi tidak waspada.
Menyerahkan pemeliharaan agama Hindu hanya kepada yang niskala saja, sudah terbukti gagal. Dua buah bangunan yang sama besar, luas dan tingginya, dibuat dari bahan yang sama di tempat yang berdampingan. Satu bangunan untuk tempat ibadah. Bangunan lain untuk kasino, pusat kenikmatan, termasuk yang bersifat seksual. Bangunan pertama tidak diberi penangkal petir, karena yakin Tuhan memelihara “rumahnya”. Bangunan kedua, karena sadar tempat ini sangat berbau duniawi diberi penangkal petir. Ketika petir terjadi di wilayah itu, kemungkinan yang akan rusak terbakar adalah “rumah” Tuhan itu. Sedangkan bangunan kasino akan selamat. Hukum alam tidak akan membedakan bangunan suci atau bangunan duniawi, termasuk yang digolongkan maksiat sekalipun.
Di dalam perang antara Kaurawa dengan Pandawa di Kuruksetra, hal itu juga tercermin dengan jelas. Krishna yang merupakan lambang niskala, hanya berfungsi sebagai penasehat. Arjuna, yang merupakan simbol niskala, harus melakukan peperangan untuk menjaga kebenaran. Kenapa demikian? Manusia memiliki otonominya sendirinya; memiliki kebebasan untuk memilih dharma atau adharma. Manusia harus aktif menjaga kebenaran dan kedamaian. Dengan kata lain, yang niskala menghormati kebebasan yang sekala.
Kembali ke inti pembicaraan, Bali tetap Hindu, karena secara militer waktu itu sangat kuat. Sebelum abad 19 pulau Bali dihindari oleh pelaut asing, karena penduduknya dianggap sangat “savage” Opini ini berobah setelah maskapai pelayaran Belanda, untuk kepentingan pariwisata, membentuk opini Bali sebagai pulau sorga yang damai dan eksotik.
Demikian sekilian sejarah ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar