Disadari sepenuhnya atau tidak, setiap orang merasa unggul di atas makhluk lain. Yakni, dan memang demikian, manusia diciptakan Tuhan secara istimewa di atas semua makhluk lain. Nilai wujud manusia terletak bukan dari sisi kodrat penciptaan semata, tetapi pada tujuan pencipataannya, yaitu mengenal pencipta dan mengabdi padanya. Mengingat sarana yang benar-benar tepat diperlukan untuk mencapai tujuan ini, Dia lantas membekali manusia sejenis ‘utusan’ dalam dirinya yang disebut ‘akal’, sekaligus melengkapinya dengan indera lahiriah dan batiniah yang berfungsi sebagai juru bantu.
Modal keistimewaan yang melampaui semua makhluk lain ini ditanamkan-Nya dalam kemampuan manusia untuk meraih pengetahuan dan pengenalan yang tidak mungkin diperoleh makhluk lain. Itulah sebabnya, bila manusia tidak menggunakan sarana Ilahi ini secara maksimal, niscaya dirinya akan sederajat dengan—bahkan jauh lebih rendah lagi dari—binatang ternak sekalipun:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahanam keba-nyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka mempu-nyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (ayat-ayat Allah); dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan-nya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A‛raf [7]: 179).
Jelas, indera dan akal juga acapkali menemui jalan buntu sehingga diakui memiliki kelemahan dan ketidakmampuan untuk mengham-parkan seluruh rincian jalan menuju kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka juga menaruh harapan pada sarana lain yang representatif, yang mampu memetakan hubungan kehidupan di alam ini dengan di alam lain, juga menunjukkan manusia bentangan jalan ke puncak kesempurnaannya. Sungguh tepat saat pencipta langit dan bumi ini menamakan dirinya ‘Sebaik-baik Pencipta’: Dia telah menutupi semua kekurangan ini dengan fenomen wahyu. Para utusan Tuhan, dengan bermodal bukti-bukti kuat yang mustahil ditembus peluru keraguan, menyatakan diri sebagai penerima pengetahuan wahyuni, untuk kemudian mengajak umat manusia memosisikan wahyu (naql) bersanding erat dengan akal.
Dengan demikian, “utusan-utusan” internal dan eksternal diri manusia pada dasarnya saling menguatkan satu sama lain dengan catatan: pesan dan tuntunan mereka ini dicerna dengan benar (logis) dan baik (metodologis). Akal tak akan enggan menerima pengetahuan wahyuni. Sebaliknya, wahyu pun tidak mungkin membuka diri bilamana akal ditanggalkan, sebab keduanya merupakan bukti Ilahi. “Allah memiliki dua bukti atas manusia: bukti yang tampak dan bukti yang batin. Bukti yang tampak adalah para rasul dan para nabi, se-dangkan bukti yang batin adalah akal.” (Kulaini: Al-Kâfî , jld. 1, “Kitâb al-‛Aql wa al-Jahl”, hadis ke-12, hlm. 60).
Kendati begitu, relasi di antara data-data yang diajukan kedua jenis pengetahuan ini senantiasa menjadi pusat kegelisahan manusia; sejak dahulu sampai sekarang. Tidaklah berlebihan jika sejarah pemikiran manusia disebut juga sejarah gagasan seputar relasi pengetahuan aklani dan pengetahuan wahyuni. Berbagai polemik yang tampak dari produk-produk kedua sumber pengetahuan ini terus menjadi fokus kaum agamawan dan para cendekia. Sebagian kelom-pok berusaha menjatuhkan martabat akal dengan maksud melindungi kehormatan wahyu. Sementara sebagian lain begitu menjunjung tinggi posisi dan superioritas akal dengan cara menjatuhkan wahyu. Ada pula sekelompok yang mengerahkan segenap upaya untuk mendamai-kan kedua sumber pengetahuan tersebut.
Sepanjang sejarah, konflik antara akal dan wahyu memiliki dimensi dan pola yang berbeda-beda, seirama formasi wacana yang populer saat itu. Awalnya, polemik ini mengemuka dalam formasi “filsafat versus agama”. Ajaran-ajaran filosofis—dalam kapasitasnya sebagai data-data rasional yang disusun sistematis—diyakini bertolak belakang dengan ajaran agama. Akibatnya, muncul sekelompok agamawan yang berusaha mati-matian menjadikan ruang lingkup agama steril dari “kuman-kuman” filsafat. Peluru-peluru tudingan dogmatis (hitam-putih) yang mereka tembakkan tak ayal mengham-bur ke mana-mana, hingga menyasar disiplin Logika dan Teologi. Dalam rangka ini, tidak jarang dari mereka menulis buku dan risalah secara khusus; mereka menjuluki ilmu Logika sebagai “pengunyah sisa makanan orang kafir dan ateis Yunani Kuno”. Mereka juga menyerang habis-habisan kaum teolog yang bermaksud merasionalisasi agama dan keberagamaan.
Dalam bukunya, Tahâfut Al-Falâsifah, Ghazali terlihat jelas ingin menunjukkan betapa kasar pergesekan yang terjadi antara konklusi filosofis dengan ajaran wahyu. Belum lagi Ibnu Taimiyah yang secara khusus menulis Nashîhat Ahl Al-Îmân fî Al-Rodd ‘alâ Mantiq Al-Yûnân untuk memperingatkan orang-orang mukmin mengenai bahaya logika Yunani. Sementara muridnya, Ibnu Qayim yang ikut bergabung dengan kelompok penghujat Logika (Ibnu Qayim Jauzi: Miftâh Dâr Al-Sa‘âdah , hlm. 189).
Perlu digarisbawahi, hujatan-hujatan ini pada dasarnya tidak diarahkan pada akal per se; melainkan dapat dipandang sebagai serangan terhadap ajaran-ajaran tertentu yang, oleh pendukungnya, dianggap sebagai data-data rasional. Untuk lebih jelas lagi, para kritikus itu mengatakan, “Apa yang kalian sebut ‘filsafat’ tidak lebih dari hasil spekulasi, asumsi, dan pemitosan; bukan produk akal, argumentasi, dan penelitian.”
Dari sudut yang lain, kalangan sufi juga menghujat akal dan argumentasi filosofis. Dalam pandangan mereka, semua itu berten-tangan dengan gairah percintaan yang merupakan inti dari sensasi religius. Pada hemat mereka, argumentasi tidak ada gunanya. Akal dan argumentasi ibarat tongkat di tangan tunanetra; niscaya kurang berarti kalau saja tak dibantu juru yang melihat dan mengenal jalan.
Sebaliknya, kalangan filosof Muslim mengerahkan segenap kekuatan untuk membuktikan keselarasan filsafat dengan agama. Menurut mereka, memperkarakan Yunani sebagai asal-usul filsafat guna dijadikan alasan untuk menentang filsafat merupakan bentuk dari kedangkalan berpikir. Meski begitu, mereka juga mengakui sejumlah kekeliruan tak disengaja yang terdapat dalam pengetahuan manusia. Karena itu, mereka berupaya meminimalisasi kekeliruan para filosof terdahulu dan semaksimal mungkin mengharmonikan filsafat dengan ajaran Islam. Dalam filsafat Shadrian (Mulla Shadra), usaha ini tampak mencapai puncaknya. Dia memproklamirkan Hikmah Muta‘aliyah sebagai ejawantah dari integralitas Al-Quran, irfan (penyingkapan batin), dan burhân (demonstrasi). Filosof besar ini mengatakan, “Mustahil hukum-hukum agama Ilahi yang haq dan cemerlang akan bertentangan dengan pengetahuan pasti (yaqînî) dan jelas (dharûrî). Celakalah filsafat yang hukum-hukumnya tidak selaras dengan Al-Quran dan Sunah!”
Di Barat, nasib akal dan wahyu juga nyaris mirip dengan yang dialami di dunia Islam. Bedanya, penolakan terhadap akal dan ajakan kaum agamawan kepada iman minus akal (reasoning) telah me-representasi gereja sebagai institusi keagamaan yang antiakal. Ini lantaran mata ajaran agama Kristen sudah berubah, dan sama sekali tidak memiliki sangkut-paut genealogis dengan wahyu suci Al-Quran. Karenanya, dapat dibedakan: mana ajaran-ajaran suci samawi dan mana ajaran-ajaran manusiawi yang bersifat profan; juga mana yang berlandas asas Tauhid dan mana yang berdasar doktrin Trinitas. Atau, mana agama yang mengajarkan, “Siapa yang lebih giat menggunakan akalnya, tentu lebih banyak ibadahnya,” (Hadis Nabi Saw, “Siapa saja dari kalian yang lebih kuat akalnya, niscaya takutnya kepada Allah lebih dahsyat.” (M. Faidh Kasyani:
Al-Mahajjah Al-Baydhô’ fî Tahdzîb Al-Ihyâ’ , jld. 1, hlm. 172).) dan mana agama yang menyakinkan, “Iman yakni tersalibnya akal.” (R. Rerneaux & J. Wahl: Padidorsyenosi va Falsafeh0-ye Hast Bûdan , hlm. 129). Secara prinsipal, Islam adalah agama kontemplasi dan pemikiran.
Polemik akal dan wahyu ini terus berlanjut di dunia kontemporer, dan kali ini berlangsung antara sains versus agama. Sebagian data yang disodorkan oleh sains dan ilmu-ilmu empiris dianggap melawan pengetahuan wahyuni. Akibatnya, muncul perdebatan sengit di ka-langan agamawan, baik di Timur maupun di Barat. Namun, yang paling bermasalah dengan oposisi biner sains-agama ini justru kala-ngan agamawan di Barat. Sepanjang Abad Pertengahan, pengetahuan nonwahyu sudah banyak dihasilkan. Namun, menjamurnya penge-tahuan nonwahyu ini kontan mengganggu lingkungan gereja, karena apa yang selama ini mereka anggap sebagai bagian dari agama ternyata tidak relevan dengan data yang diajukan sains modern.
Pada masa berikutnya, yakni abad pasca-Renaisans, Rasionalisme menggejala dan melawan gereja yang antiakal. Puncak kebangkitan itu ditandai dengan kelahiran sejumlah isme seperti: Evidensialisme. Mereka begitu jauh memuja akal, sampai-sampai memosisikannya di tampuk ketuhanan, “Wahai alam! Wahai raja alam semesta! Dan engkau, wahai Keutamaan dan Akal serta Hakikat sebagai tuhan termulia … jadilah tuhan kami selama-lamanya” (I. Barbour: ‘Elm va Din, hlm. 77).
Keberpihakan pada akal yang terlalu rigid dan berlebihan ini bukan hanya mengusik tokoh-tokoh gereja, tetapi juga para pujangga dan seniman Barat. Mereka menuntut jatah ruang untuk hati yang diabaikan dan memandang akal sebagai tamu tak diundang; bahkan mengecam akal yang disebut-sebut hanya punya keterampilan satu-satunya, yakni mencoreng keindahan dan kebaikan. Sekarang ini, kita dipusakai sejarah agung pemikiran manusia. Dan, tak ada yang lebih mendesak kita selain berusaha sekuat tenaga untuk terjun ke medan ini seraya mencari terang di sudut-sudut pembahasan yang masih gelap.
Kamis, 25 Mei 2017
Dialektika Wahyu Tuhan dan Nalar Manusia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar