jangjawokan sunda
Seureuh seuri
Pinang nanggeng
Apuna galugaet angen
Gambirna pamuket angen
Bakona galuge sari
Coh nyay, parupat nyay, loeko lenyay
Cucunduking aing taruk harendong
Cucunduking aing taruk paku hurang
Keuna asihan awaking
Asihan si leuget teureup
Kalimat diatas merupakan jangjawokan yang biasa digunakan urang sunda buhun ketika hendak nyepah (nyeupah), digerenteskeun atau di ucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pada setiap kali kegiatan, bahkan menjadi tertib hidup. Misalnya untuk bergaul, bekerja sehari-hari, dan berdoa. Laku demikian dimungkinkan karena faktor masyarakat Sunda yang agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam. Konon pula seluruh nu kumelendang dialam dunya dianggap memiliki jiwa.
Tertib dan krama hidup misalnya berhubungan dengan padi (beras). Ada jangjawokan yang digunakan sejak menanam bibit, ngaseuk, tandur, panen, nyiuk beas, nyangu, mawa beas ticai, ngisikan, seperti salah satu contoh dibawah ini :
Jampe Nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alame Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan
Ashadu sahadat panata, panetep gama
Iku kang jumeneng lohelapi
Kang ana teleking ati
Kang ana lojering Allah
Kang ana madep maring Allah
Iku wuju salamaet ing dunya
Salamet ing akherat
Asahadu anla ila haileloh
Wa ashadu anna Muhammaddarrasolullah
Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa
Nyanggakeun sangu putih sapulukan
Kukus kuning purba herang
Tuduh kang seseda tuhu
Datang ka sang seda herang
Tepi ka kang seda sakti
Nu sakti neda kasakten
Neda deugdeugan tanjeuran
Contoh lainnya,
Jampe Ngisikan (mencuci beras) :
Mangga Nyimas Alene Nyimas Maulene
Geura siram dibanyu mu'min
Di Talaga Kalkaosar
Abdi ngiringan
Nyi Pohaci Budugul Wulung
Ulang jail babawaan kaula
Heug
Nyi Pohaci Barengan Jati
Ulah jail kaniaya
Ka Nyi Pohaci Sukma Jati
heug
Inilah contoh tertib hidup masyarakat agraris yang menciptakan harmonisasi adapt dengan alam.
Para Sastrawan Sunda pada umumnya, seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana, Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkannya dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970), sedangkan Ajip Rosidi dalam Jangjawokan (1970). Saya piker, lepas dari benar atau salah tentang pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan, namun dengan cara katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada bagian dari budaya Sunda yang disebut Jangjawokan.
Menurut Wahyu Wibisana
jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana dan pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang dianggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga.
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan demikian, hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara itulah dengan menggunakan mantra serta segala ketentuannya.
Mengapa Istilah Jangjawokan ?
Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan "Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan"
Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra. Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta).
Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini ketimbang menggunakan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib "makhluk gaib"
Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas, timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang dimintakan kepada Makhluk Gaib ?
Adaptasi bahasa atau keyakinan ?
Sebenarnya untuk mentraslate makna tujuan permohonan dari pelaku jangjawokan perlu juga ditelusuri melalui pemahaman tentang Hyang Tunggal ; Hyang Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sdejarah diri dalam Paradigma Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya, seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring.
Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :
Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Pangnepikeun ieu hate
Ka Indungna anu nagnadung
Ka Ramana anu ngayuga
Ka Indungna nu teu ngandung
Ka Ramana nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si ...... (anu) ......
Dst.......
Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Dalam kasus lain, bisa jadi ditujukan untuk memperkuat bathinnya, atau semacam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.
Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatarogikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang "Khasanah Pantun Sunda", terutama tentang "arkeologi pemkiran" Urang Sunda Buhun terhadap "rias Politik Sunda". Tanpa pemahaman yang jelas niscaya "Urang Sunda" akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.
Signal dari paradigma dan muara pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan strata pengabdian dalam hirarki pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ; dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.
Menurut Edi S Ekajati, dalam Kebudayaan Sunda - Agama dan kepercayaan "Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang Keresa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasda Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Jadi dalam pemahaman saya, yang membedakan masalah Keesaan Tuhan dalam Paradigma Urang Sunda Wiwitan dengan yang berikutnya terletak pada Syariatnya. Hal ini wajar, mengingat masing-masing ageman memiliki sejarah dan perkembangannya sendiri."
Dalam tradisi Jangjawokan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya membaca dengan Alloh. Konsonan "O" nya mani lekoh - khas. Bahkan ada jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti dalam Sawer Panganten, seperti dibawah ini :
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.
Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah - Adam dan Muhammad tentunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat - Sifat - dan Manusia itu sendiri. Mungkin juga menandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuring-na manusa. Memang menjadi sulit bagi saya membedakan jika masih ada istilah : Jangjawokan itu suatu permohonan (hanya) kepada Makhluk Gaib, bukan kepada Yang Maha Gaib. Tapi syah-syah saja jika digunakan dalam rangka katagorisasi puisi arkais.
Contoh lainnya do'a untuk belajar, atau agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya dapatkan dari Almarhum Bapak Nunung Setiya, demikian :
Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang.. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Setelah Bapak Nunung meninggal kemudian saya coba telusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya saya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :
Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Jika saja yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak ditemukan kalimat Tauhid, namun dalam bentuk dibawah pun tidak ditemukan adanya unsur yang memintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Kecuali jika indung mu ngandung dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga kalawan nu teu ngayuga ; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?
Saya justru menafsirkan, dengan dicantumkannya kalimat Tauhid didalam jangjawokan tersebut, justru dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Setidak-tidaknya bertujuan untuk mengurangi tudingan menduakan Tuhan. Tapi ada benarnya jika urang tua dulu berujar "antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheung".
Ciri-ciri Janjawokan
Jangjawokan didalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib "makhluk gaib" sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan do'a, bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan do'a ?.
Pemilahan jangjawokan dengan do'a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.
Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.
Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.
Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.
Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: 'ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan 'pernah digunakan' dan 'pernah muncul' karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.
Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.
Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2. dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3. berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4. masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5. adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6. terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.
Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti contoh dibawah ini :
Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandaha !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.
Jampe masamoan diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak "nu dipasamoan".
Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini, sebagai berikut :
Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna... (sianu) .......
Pamugi sing ....................................................
Jangjawokan diatas terasakan adanya perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan kepada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi indung dan bapak anu ngandung kalawan nu teu ngandung. Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara yang empat dan pancernya.
Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah-istilah spiritual yang lajim digunakan orang sunda penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan sebagai sesuatu yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika kita membaca jangjawokan seperti dibawah ini.
Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin
Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.
Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, saya sendiri menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu "Yang Gaib" dimintakan ijin terlebih dahulu kepada "Yang Maha Gaib", atau dapat juga disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib itu bisa diperintahka.
Istilah "Nu Gaib" disini tentunya menimbulkan pertanyaan, Nu Gaib anu mana ?. Mungkin alangkah lebih bijaknya jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda Buhun. Dalam paradigma masyarakat Sunda Buhun, terutama ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.
Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina.
Pengguna Jangjawokan sebagai pemberi perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak sebagai pemberi perintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang "menginginkan " sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya :
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna
..........................
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking
Atau :
Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu
.................
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking
Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga kecenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permohonan atau himbauan, bukan perintah. Jika perhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang menginginkan sesuatu.
Tipe jangjawokan semacam diatas, seperti dibawah ini :
Jampe nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan
............................
Dari kalimat tersebut lebih jauh dari unsure memerintah. Sekalipun menaruh harapan besar untuk melakukan. Namun lebih tepay jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh lainnya, seperti dalam Jampe ngisikan : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane - Geura siram dibanyu mu'min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan .....dst.....
Saya menemukan beberapa kasus. Untuk jenis jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses "kuru cileuh kentel peujit". Mungkin ini untuk menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. Dalam temuan saya (mungkin suatu kebetulan), dilakukan pula oleh masyarakat yang bukan penganut ajaran Sunda Buhun.
Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya dilakukan oleh "urang sunda buhun" bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukannya. Misalnya melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah hari tertentu ; melakukan wirid ; atau melakukan shalat malam. Sedangkan ukuran keberhasilannya tidak sama dengan peta pengalaman seperti makan rawit, langsung terasa pedasnya, atau bisa dinikmati.
Penekanan perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan pengulangan perintah atau semacam "penegasan perintah untuk dilaksanakan". Perintah ini bersifat imperatif atau persuasif, misalnya :
Bray padang, Bray caang
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
.................................
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan
Kalimat ini tentunya bukan sekedar penegasan, namun dapat juga diartikan sebagai kesungguhan untuk mencapai apa yang dikehendakinya.
Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandungan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Jika dinyatakan meminta kepada makhluk gaib, namun yang ditemukan adalah upaya menguatkan bathinnya, bahkan ada negasi tentang eksistensi Tuhan. Kemudian, jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit diderfinisikan, mengingat ada pula janjawokan yang isinya memohon atau menghimbau.
Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan "diampihan" sebagai puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.
Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, dipaluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabehna aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asinna, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabuka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gunti na.(Cag).
Sumber : http://mirwansmart.blogspot.com/2009/11/jangjawokan-sunda.html
Senin, 27 Maret 2017
jangjawokan sunda
AMANAT DARI GALUNGGUNG (Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong-Garut) Oleh :
AMANAT DARI GALUNGGUNG
(Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong-Garut)
Oleh :
Drs. Atja
&
Drs. Saleh Danasasmita
PROYEK PENGEMBANGAN PERMUSEUMAN JAWA BARAT
1981
BAB III
PEMBACAAN KEMBALI DAN TERJEMAHAN
PEMBACAAN KEMBALI
Lembar Jilid verso
Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang Ba/n/nga, masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, ¹) maka
manak Maharaja Dewata, Maharaja Dewata maka manak Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka manak Prebu Sanghyang maka mank Sa(ng)
Lumahing rana, Sa(ng) Lumahing rana maka manak Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kem-
bang maka manak Rekéyan Darmasiksa. Darmasiksa siya ngawarah anak öncu umpi cicip muning anggasa(nta)na (kulasantana) pretisantana wit wekas kulakadang…… ²)
arti :
Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan 1 ) Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, 2) bernama Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana 3 ), Sang Lumahingrana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa. Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip(turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas 4 ) (turunan ke-9), sanak-saudara
I rekto
sakabeh, nguniwéh sapilancökan, mulah pabwang³) pasalahan paksa, mulah paködöködö, asing ra(m)pes, cara purih, turutan mulah ködö di tinöng di maneh, isos-
isökön carekna patikrama, jaga kita dek jaya prang ta(n)jor juritan tan alah kuréya, musuh ti dara(t) ti laut, ti barat ti timur sakuriling désa, musuh alit,
musuh ganal mu(ng)ku kahaja urang miprangkön si tepet, si bener,si duga,si twarasi, mulah sida döng kulakadang, mulah munuh tanpa dwasa, mulah
ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun sama hulun, jaga dapetna pretapa dapetna pegengön sakti, bönangna (ku 4 ) Sunda, Jawa, La(m)pung, Ba-
arti :
semuanya, demikian pula saudara-saudara kandung.
Jangan benterok (karena) berselisih maksud, jangan saling berkeras: hendaknya rukun (dalam) tingkah laku (dan) tujuan. Ikuti, jangan (hanya) berkeras pada keinginan diri sendiri (saja). Camkanlah ujar patikrama, 5 ) bila kita ingin menang perang, selalu unggul berperang, tidak (akan) kalah oleh (musuh) yang banyak: musuh dari darat dari laut, dari barat dari timur di sekitar negeri; musuh halus, musuh kasar.
Jangan dengan sengaja kita memperebutkan: yang lurus. Yang benar, yang jujur, yang lurus hati. Jangan berjodoh dengan saudara, jangan membunuh yang tak berdosa, jangan merampas (milik) yang tak bersalah, jangan menyakiti yang tak bersalah; jangan saling curiga/sesali antara wanita/isteri, jangan saling curiga antara hamba dengan hamba.
Waspadalah. kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan) 6 ) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Ba-
I verso
luk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan na Galungung, asing iya nu mönangkön kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya höböl
nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi 5 ), lamun miprangköna kabuyutan na Galunggung, a(n)tuk na, kabuyutan,
awak urang na kabuyutan , nu löwih diparaspade, pahi döng na Galunggung, jaga bönangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung,
ku sakalian , muliyana kulit di jaryan, madan na rajaputra, antukna boning ku sakalaih, jaga rang a(ng)gos dihélwan, munuh tanpa dwasa, ngajwal tanpa dwasa, nguniwéh tan bakti di sang pandita di puhun di manéh, na carita boning ku sa-
arti:
luk, para pedagang (orang asing) yang akan merebut kabuyutan 7 ) di Galunggung. Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama Berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi, 8 )
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah9 ) kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain. 10 )
Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah ditaati, (yaitu) membunuh (yang) tak berdosa, memarahi11 ) (yang) tak bersalah, demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur12 ) kita sendiri dalam peristiwa dapat direbutnya kabuyutan oleh orang lain 13 )
II rekto
kalih ngaranya, na kabuyutan, jaga hamo isös di mullah di pamali di manéh, mulah kapuhan dina musuh ganal bala (boning) dila(n)can, musuh alit mwa boning ditambaan,
jampé mwa matih, mangmang sasra tanpa guna, patula tawur tan mretyaksa ku padan ngalalwan sipat
galeng mgalalwan siksa nu kwalwat, kwaywa nguha di carék aki lawan buyut, upadina pa(n)day bösi panday omas, memen paraguna, hamba lawak, tani gusti,
lanang wadon, nguniwéh na raja puta – ködö di tinöng di manéh hamo ngadéngé carék i(n)dung lawan bapa, hamo ngadéngé carék na patikrama wwang ködöanakéh, upadina kadi tungtung halalang sategal kadi a(ng)gerna puncak ing gunung, sa-
arti:
Hindarkan sikap tidak mengindahkan cegahan dan pantangan diri sendiri, jangan bingung menghadapi musuh ksar; lascar (musuh) dapat dilawan, sebaliknya musuh halus tidak dapat diobati. Jampi tidak akan mempan, sumpah (kutukan) seribu (kali) tak akan berguna, ibarat tawur (kurban) yang tidak terlaksana oleh perbuatan melampau batas (garis) pematang (aturan), mengabaikan aturan dari leluhur (orang tua), luput menyadari ucapan kakek dan buyut.
Bandingannya: pandai besi dengan pandai emas, dalang dengan penabuh gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan pemilik tanah, laki-laki dengan perempuan, demikian pula raja dengan upeti (persembahan). Berkeras kepada keinginan sendiri tidak mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan ajaran patikrama, itulah contoh orang yang keras kepala; ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegalan, ibarat tetapnya puncak gunung. Si-
II verso
pa ta wruh ri puncaknya, asing wruh iya ta wruh inya patingtiman, wruh di carék aki lawan buyut, marapan kita jaya prang höböl nyéwana, jaga kita miprangkön
si tepet si bener, si duga si twarasi, iya tuhu sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana urang sakabéh, iya pawindwan ngaranya kangken gunung panghiyangana urang, pi(n)dah
ka cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran , gosana wwang ngéyuhan kapanasan, jaga rampésna agama, hana kahuripana urang sakabeh, mulah kwaywa moha di
carékna kwalwat pun. Ujar Rekéyan Darmasiksa, ngawarah urang sakabéh, nyaraman Sa(ng) lumahing Taman, sya Rekéyan Darmasiksa, maka manak Sa(ng) Lumahing Taman, patemwan döng ti Darma-agung, aya mangsesya pa-
arti:
Apa yang mengetahui puncaknya? Siapa pun yang mengetahuinya, ya tahulah akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut, agar kita unggul perang dan lama berjaya.
Janganlah kita memperebutkan (bertengkar) tentang: yang tepat (lurus), yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya sungguh-sungguh tenteram manusia di dunia, ya kehidupan kita semua, ya ketenteraman namanya ibarat gunung kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga (bening) namanya, beralih ke tanah pusara, tempat orang berteduh dari kepanasan.
Pelihara kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua, jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur (orang tua).
(Itulah) ujar Rakeyan Darmasiksa, menasihati kita semua, mengajari Sang Lumahing Taman. Ia, Rakean Darmasiksa berputera Sang Lumahing Taman dan perkawinannya dengan wanita dari Darma Agung pernah ia pun me-
III rekto
temwan don ti sisima pun. Makangaran San Raja Purana, carek Sang Raja Purana, ah ra(m)pes6 ) carek dewata kami, sya Rekeyan Darmasiksa pun. Jaga di-
turutan ku na urang reya, marapan atis ikang desa, sang prabu enak alungguh, sang rama enak emangan, sang disi jaya prang, jaga isos di carek nu kwalyat, nga-
lalwakon agama nu nyusuk na Galunggung, marapan jaya pran jadyan tahun, hobol nyewana, jaga makeyana patikrama, paninggalna sya seda, jagat
daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu, haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala pamonang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek,
arti:
nikah dengan orang desa. (Putranya) bernama Sang Raja Purana. Kata Sang Raja Purana, ah sempurna, sempurna ajaran ayahku suwargi, 14 ) dia Rakeyan Darmasiksa.
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan, 15 ) sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung, 16 ) agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, 17 ) lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi.
Dunia kemakmuran, 18 ) tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya, 19 ) sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
III verso
si niti si nityagata, si aum, si hööh si karungrungan, ngalap kaswar semu guyu/ng/ téjah ambek guru 7 ) basa, dina uran sakabéh, tuha kalawan anwam, mulah
majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah madahkön pada janma, mulah sabda ngapus, iya pang jaya prang höböl nyewana ngaranya, urang ménak maka
rampés agama, haat héman dina janma, mana urang ka(n)del kulina, mana urang dipajarkön ména(k) ku na rama, carék na patikrama, na urang lanang wadwan, iya
tuwah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampés twah waya tapa, apana urang ku twah na mana bö(ng)har ku twah na mana waya tapa, na maka muji sakalih ja ku tapa, na muji manéh kéh ona-
arti:
yang bijaksana yang elalu berdasarkan kebenaran, yang bersifat hakiki, 20 ) yang sungguh-sungguh, 21 ) yang memikat hati, 22 ) suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara. Bagi kita semua, tua dan muda, jangan berkata berteriak, jangan berkata menyindir-nyindir, jangan menjelekkan23 ) sesama orang, jangan berbicara mengada-ada, 24 ) agar unggul perang dan lama berjaya namanya.
Kita merasa senang, 25 ) maka sempurnalah agama, kasih-sayang kepada sesama manusia, maka kita dianggap 26 ) bangsawan, 27 ) maka kita dikatakan orang mulia 28 ) oleh sang rama.
Menurut ajaran dalam patikrama, bagi kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal ya bertapa; itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Ada pun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula dapat berhasil tapa kita. Maka orang lain akan memuji tapa kita, 29 ) maka puji sajalah diri sendiri,
IV rekto
m sugan ku ra(m)pés na twah mana bönghar, na maka nyösöl sakalih ja urang hantö tapa, nyösöl manéh kéh onam, sugan tu gwaréng na twah mana burungna
na tapa, hamwa karampes lamu(n) dipindaha(n) na twah, jaga dipéda ku sakalih, hamwa karampés na(m)bahan twah ja rang dipuji ku /suku/ sakalih, si cangcingan si langsi-
tan si paka, si rajön-lökön, si mwa-surahan si prenya, si paka maragwalragwal, purusa ém ét imöt rajön-lökön pakapradana, iya bisa ngaranya, titis bö(ng)har waya
tapa kitu tu rampes twah na ménak, jaga isös di carék nu kwalwat, di puhun di manéh, maluy swarga tka /t/ing kahyangan Batara Guru, lamun tepet bener di awak di manéh tu (u)cap na urang kahaja bwa-
arti :
(katakan:) barangkali karena sempurna amal maka menjadi kaya. Bila disesali oleh orang lain karena kita tidak melakukan tapa, sesali sajalah diri sendiri, (katakan:) barangkali karena beramal buruk maka tapa kita menjadi batal. Percuma (tidak akan diterima) jika amal itu dihilangkan (tidak dilakukan) karena takut dicela oleh yang lain; percuma kita menambah30 ) amal bila mengharapkan dipiji oleh orang lain. Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun, si tawakal, si bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh keutamaan, 31 ) ya berkemampuan namanya, benar-benar 32 ) kaya dan berhasil tapanya. Begitulah kesempurnaan amal orang mulia.
Terus camkanlah ujar orang-orang tua, ujar leluhur kita sendiri (agar) masuk surga tiba di kahiyangan Batara Guru, bila kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita sendiri. Itu dikatakan kita menyengaja (berbuat baik). Un-
IV verso
t si mumulan, si ngödöhan, si bantölö, dungkuk peruk, supenan, jangkelék, rahéké, mémélé,
bra/h/hélé, sélér twalér, hantiwalér, tan bria, kuciwa, rwahaka, jangjangka, juhara, hantö di kabisa, luhya mumulan , mo tö(ng)töing, manggahang, bara/ng/-
hual, nica mreswala, kumutuk pregutu, surahana, sewekeng, pwapwarosé, téréh kasimwatan, téréh kapidéngé ,mwa teteg di carék wahidan, sulit rusit, rawa-
ja papa, katang-katang di kalésa di kawah ma ku Sang Yamadipati, atma cumunduka ring ywaga tiga, mangrupa janma, maka jadi neluh, mulana mumulan sangkana réya kahayang, hantö di imah di maneh, 7 ) ménta twah ka sakalih, ménta
arti:
tuk si pemalas, si keras-kepala, si pandir, pemenung, pemalu, mudah tersinggung, 33 ) lamban, kurang semangat, gemar tiduran, 34 ) lengah, tidak tertib, 35 ) mudah lupa, tak punya keberanian, 36 ) kecewa, luar biasa, sok jago, juara (jagoan), (tetapi) tak berkepandaian, selalu mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah, penempelak, ) selalu berdusta, bersungut-sungut, menggertu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, ) mudah terpengaruh, mudah percaya kepada omongan orang(tanpa disaring dahulu), tidak teguh memegang amanat, ) sulit, rumit (mengesalkan) ) aib, nista.
Mayat-mayat pada lubang kawah (neraka) (dikuasai) oleh Sang Yamadipati. Arwah berdatangan dalam tiga periode, berupa manusia, maka jadi mengeluh, asal-mula jadi mengeluh (karena) malas pada hal banyak keinginan, tidak tersedia di rumahnya, meminta belas-kasihan kepada orang lain, meminta
V rekto
guna ka sakalih, hantö dibéré ksel hatinya, jadi nelu(h), pamalina iya dwakan iya jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri paywagya di nu bener, na twah
ra(m)pés dina urang, agamani(ng) paré,ma(ng)sana jumarun, telu daun, ma(ng)sana dioywas, gedé paré, ma(ng)sana bulu irung, bökah, ta karah nunjuk lang/ng/it,
tanggah ta karah, kasép nangwa tu iya ngaranya, umösi ta karah lagu tu(ng)kul, harayhay asak, tak karah ca(n)d ukur, ngarasa maneh kaösi, aya si nu hayang,
daék tu make hurip na urang réya, agamaning paré pun. Lamun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak tanggah, hapa ngarana, pahi döng ayöh ngarana, hantö alaönana, kitu tu agama dina urang réa; ngarasa manéh imah kaösi, löit kaö-
arti:
Kebajikan kepada orang lain. (Bila) tidak kesal hatinya, jadi mengeluh. Tercela, (karena yang demikian itu) ya seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Akibatnya kita mengiri akan keutamaan orang yang benar.
Ada pun amal yang sempurna pada diri kita (adalah) ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar daun (tiga daun), saat disiangi, tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya menunjuk langit, ya menengadah; indah tampang41 ) namanya. Setelah berisi tiba saat 42 ) mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena merasa diri telah berisi.
Bila ada yang mau dan bersedia (berbuat) demikian, maka kehidupan orang banyak akan seperti peri-laku padi. Bila saatnya berisi (tetap) tengadah, saat menguning (tetap) tengadah, saat masak (tetap) tengadah, hampa namanya. Lain dengan yang disebut (padi) rebah-muda, sebab nihil hasilnya, 43 ) Demikianlah peri-laku orang banyak; karena merasa rumah telah lengkap (terisi), lumbung telah teri-
V verso
si (da)yöh kaösi dipaké sikara dipaké simangké, dipaké hulangga, mwa kabita na paré téya kéna hantö alaönana, hantö turutanönana, na urang r(é) ya sarwa
döng ayöh ngawara ngarana, mwa karampés, jaga rang téoh twah, bwa tu höböl nyéwana pun. Lamun héman dinu karwalwat, jaga rang éwéan, jaga ngara(m)pas, jaga
ngasupkön hulun, ja rang midukaan, nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab na agama pun, na sasana bwat kwalwat pun, Hana nguni hana mangké, tan hana
nguni tan hana mangké, aya ma böhöla aya tu ayöna, hantö ma böhöla hantö tu ayöna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna, (hana guna) hana ring demakan, tan hana
arti:
si, negeri 44 ) telah ramai isinya, dijadikankekayaan, 45 ) dijadikan persediaan, 46 ) dijadikan perhiasan. 47 ) Tidak akan ada yang mengingini padi itu, karena tak dapat dipetik hasilnya, tak ada yang patut ditiru.
Maka orang banyak sama dengan rebah-muda namanya. Janganlah kita berwatak rendah, 48 ) pasti tak akan lama hidup. Bila kita menyayangi orang-orang tua, hati-hatilah memilih istri, hati-hatilah memilih jodoh, 49 ) hati-hatilah memilih hamba, agar jangan menyakiti hatinya.
Bertanyalah kepada orang-orang tua, (niscaya) tidak akan hina tersesat dari agama, yaitu hukum buatan leluhur. Ada dahulu ada sekarang, 50 ) Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya; 51 ) ada jasa ada anugerah, tidak ada
VI rekto
guna tan hana ring demakan, galah dawa sinambung/ng/an tuna, galah cöndök tinug(e)lan tka, a(n)tukna karah na urang ngarasa manéh hantö tapa lalo tandang
marat nimur, ngalwa(r) ngidul réya kahayang, réya gösan mangkuk, bogoh pi(n)dah, réya agama, réya patingtiman, pipirakan, ider-ideran, bwaga di kuras hayang r(é)ya
hulun mu(ng)ku kasorang ja urang hanto tapa, salah paké urang ménak, na gusti, na panghulu, na wiku sakabéh salah paké, na raja sabwana salah paké,
böki awor-awur tanpa wastu ikang bwana, carék Rekéyan Darmasiksa surung réya gösan mangkuk höwöng kénéh mo réya éwé, surung pritapa soné, höwöng kénéh hatö tapa, mu(ng)ku kasorang ja urang hantö tapa, kéna hantö dika-
arti:
jasa tidak akan ada anugerah. Galah panjang disambung batang, 52 ) galah tusuk dipotong runcing. 53 )
Akhirnya malah, kita merasa tidak melakukan amal baik. Lalu berkelana, ke barat ke timur, ke utara ke selatan, banyak tempat tinggal (rumah), senang berpindah-pindah, banyak tanam-tanaman, 54 ) banyak tempat peristirahatan, perhiasan perak, 55 ) bertualang, senang (memelihara) ternak, 56 ) ingin banyak hamba. Tidak akan terlaksana, karena kita tidak beramal (berkarya) baik.
Salah tindak para orang terkemuka, ya pemilik tanah, ya penguasa, ya pendeta, semuanya salah tindak, 57 ) ya bahkan raja seluruh dunia salah tindak. Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini. Kata Rakeyan Darmasiksa: urung memperoleh rumah banyak, lebih baik 58 ) jangan beristri banyak; urung bertapa mencapai kesucian diri, lebih baik jangan bertapa.
Tak akan terlaksana, karena kita tidak berkarya, karena tidak memiliki
VI verso
bisa hantö dikarajöna, ja ku ngarasa man éh gwaréng twah karah dipi(n)dah/h/an ku na urang hamo tu galah dawa sina(m)bungan tuna ngarana, nu pridana,
nu takut sapa, nurut dina ménak, di gusti panghulu, réya kabisa, prijnya, cangcingan, gapitan, iya galah cöndök tinugelan t(é)ka ngarana,
hatina tö 8) burung/ng/ ön tapa kitu ma na urang pun. Ku na urang ala lwirna patanjala, pata ngarana cai, jala ngarana (a)pya, hantö ti 9)
burung/ng/ ön tapa kita
lamuna bitan apwa teya, ongkoh-ongkwah dipilalwaön di manéh, gena(h) dina kagölisan, mulah kasimwatan, mulah kasiwöran ka nu miburung/ng/an tapa, mulah kapidéngé ku na carék gwaréng, ongkwah-onhkoh di pitinöng/ng/ön di manéh, iya ra(m)pes, iya gölis……..
arti:
keterampilan, tidak rajin, karena merasa diri berbakat buruk, malah lalu kita jauhi, 59 ) percuma saja, (ibarat) galah panjang disambung batang namanya.
(Mereka) yang utama, yang takut akan kutukan, taat kepada orang-orang mulia, kepada pemilik tanah dan penguasa, banyak memiliki keterampilan, cerdas, cekatan, terampil, ya (ibarat) galah tusuk dipotong runcing namanya. Tidaklah mengurungkan (menyia-nyiakan) amal-baik mita bila demikian halnya.
Kita tiru wujud patanjala; pata berarti air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai itu. Terus tertuju 60 ) kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang akan keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan 61 ) (hal-hal) yang akan menggagalkan amal-baik kita; jangan mendengarkan (memperhatikan) ucapan yang buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita (keinginan) sendiri. Ya sempurna, ya indah,....
___________________
¹) Gelar rahyangta digunakan dalam Carita Parahyangan, sedangkan tokoh yang bersangkutan dalam naskah Cirebon disebut Rakryan Wuwus. Dengan demikian namanya bukan Rahyang Tawuwus, melainkan Rahyangta Wuwus.
²) Bagian ini rusak berat. Bila dibandingkan dengan kropak 630, mungkin tadinya berisi kata baraya.
³) Kata ini dalam Sunda modern menjadi pam(b)eng (berhalangan) dengan pergeseran arti. Kata pabwang berarti saling merintangi.
4 ) Lihat baris 3 !
5 ) Bukan sebutan ber-ayah kepada resi, melainkan rama (tetua desa) dan resi (pendeta).
6 ) Terjemahan yang disusun Pleyte hanya sampai di sini.
7 ) Kata guru di sini berarti berat seperti pada istilah guru-lagu (berat-ringan). Padanan yang tepat dalam Bahasa Sunda modern ialah anteb (mantap).
7 ) Menurut Pleyte, sampai bagian inilah garapan K. F. Holle.
8 ) Jika dibandingkan dengan catatan 9 ) baris yang sama dan maksud kalimatnya, kemungkinan salah tulis atau salah baca; bagian ini lebih baik dibaca: “hantö piburungön tapa”.
9 ) Sama dengan no 8 ) harus dibaca “hantö piburungön tapa”, pada baris 4 kedua, kita temukan kata miburungan tapa yang erat pertaliannya dengan piburungön tapa.
_______________________
1 ) Kata sakakala oleh Pleyte diterjemahkan dengan “overlivering omtrent de afstameling” (ceritera turun-temurun tentang silsilah). Dalam prasasti-prasasti Subda, kata sakakala selalu dimaksudkan sebagai tanda peringatan bagi yang sudah wafat.
2 ) ” Masa sya nyusuk na Pakwan” oleh Pleyte diterjemahkan “toen hij Pakoean stchte” (ketika ia mendirikan Pakuan). Kata nyusuk berarti membuat susukan atau parit (biasanya untuk pertahanan kota). Pengertiannya sama dengan kata marigi dalam prasasti Kawali.
3 ) Kata sang lumahing umumnya berarti “yang dipusarakan di”. Sang Lumahing rana berarti yang gugur di medan perang. Pleyte menduga, tokoh ini adalah raja Sunda yang gugur di Bubat tahun 1357 yang disebutnya Prabu wangi.
4 ) Dalam kropak 630 disebut “putuh wekas” (= putus jejak/turunan).
5 ) Kata patikrama lebih baik tidak diterjemahkan, karena kata itu dapat berarti: adat, kebiasaan, tradisi, tata-tertib, sopan-santun, peraturan, undang-undang atau hukum keagamaan.
6 ) Kata pretapa dapat berarti: sinar (kekuatan), cahaya, pancaran, perbawa, kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, kuasa (lihat: Mardiwarsito).
7 ) Kata kabuyutan pun lebih baik tidak diterjemahkan, sebab kata itu dapat berarti “tempat keramat”, “tempat suci” dengan fungsi yang berbeda-beda (kuburan leluhur, tempat pemujaan dan lain-lain).
8 ) Istilah rama di sini berarti “tetua desa” (bukan ayah). Karena itu lebih baik tidak diterjemahkan.
9 ) Kata awak dapat berarti badan atau kuasa.
10 ) Tepatnya: nilai kulit lasun di tempat sampah menyamai rajaputra. Rajaputra dalam hal ini ialah Rakeyan Saunggalah yang kemudian disebut Prabu Ragasuci dan setelah wafat disebut Sang Lumahing Taman, putera Prabu Darmasiksa.
11 ) Kata ngajwal berasal dari kata jwal (sangsekerta : jval) yang berarti: menyala, bersinar, merah-padam atau naik pitam.
12 ) Kata puhun sebenarnya berarti pohon yang dalam hal ini berarti cakal-bagal atau leluhur. Sinonimnya ialah wiwitan (witwitan) yang sebenarnya juga berarti tumbuh-tumbuhan (wit = pohon).
13 ) Kata sakalih dalam bahasa sunda dapat berarti yang lain atau sekalian (semuanya).
14 ) Kata dewata dapat pula berarti suwargi atau almarhum.
15 ) Bandingkan dengan catatan 18 )! Diterjemahkan makan tidak tepat.
16 ) Lihat tinjauan sejarah!
17 ) Kata tahun di sini berarti: tumbuh-tumbuhan, tanaman, pohon.
18 ) Kata daranan (sansekerta: dhara) menurut konteks kalimat harus diartikan bantuan bahan makanan (mcdonell). Kata kemakmuran lebih memadai.
19 ) Rama, resi, dan prabu disebut tritangtu dibuana yang sama kedudukannya tetapi berbeda tugas. Ketiga-tiganya dianggap penjelmaan Mahapurusa.
20 ) Kata aum dapat diterjemahkan dengan ya untuk menyeru Tuhan. Si aum adalah mereka yang senantiasa menyeru (mengingat) Tuhan. Juga berarti kebenaran atau kenyataan tertinggi (hakiki).
21 ) Kata hööh berarti: ya, benar, sungguh-sungguh.
22 ) Karungrungan = kasöndöhan , selalu dikerumuni orang karena sifatnya yang menyenangkan.
23 ) Kata madahkön berasal dari kata adah (= adas) yang berarti buruk atau jelek; madahkön = memburukkan atau menjelekkan.
24 ) Kata ngapus berasal dari kata apus = tali atau ikat. Angapus atau ngapus berarti mengikat atau membuat sajak.
25 ) Kata menak adalah kontradiksi dari ma + inak yang berarti merasa enak atau senang. Kemudian digunakan pula untuk menyebut golongan masyarakat yang terhormat (dianggap enak hidupnya).
26 ) Kata kandel dalam hal ini tidak berarti tebal, melainkan kaandel (dipercaya, dianggap, diandalkan).
27 ) Rupa-rupanya, karena Pleyte dan Holle mengartikan kata kandel itu dengan tebal,maka kata kulit muncul sebagai asosiasinya. Dilihat dari hubungan kalimat dan maknanya, perkataan kandel kulit (= tebal kulit) di sini tidaklah tepat, bahkan janggal. Sangat mungkin dalam naskah tertulis kulina (orang keturunan, bangsawan). Hal ini sejalan dengan kata menak pada frase berikutnya.
28 ) Di sini kata menak berarti orang mulia, bangsawan.
29 ) Dalam kropak 630, lembar X, dikatakan, bahwa memiliki keahlian dan mengerjakan profesi dengan sepenuh hati disebut tapa di nagara.
30 ) Karena kata pindah di sini berarti hilang, maka “ na bah” seharusnya ditulis nambah (=menambah).
31 ) Kata pakaprada berasal dari kata paka = perlu, muda, matang, lengkap, tulus hati, penuh, cukup) dan pradana = utama, pertama, terkemuka.
32 ) Menurut Coolsma, kata titis di antaranya berarti meneran (tepat) dan kona (kena).
33 ) Dalam bahasa Sunda: delit atau pundungan.
34 ) Maksudnya berbaring bermalas-malasan (sunda : gégéléhéan)
35 ) Dalam bahasa Sunda sekarang: toleran atau oleran = tak pernah menyimpan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya dan kemudian melupakannya.
36 ) Kata bria ubahan dari wirya = keberanian, keperwiraan.
37 ) Kata bara(ng)hual berasal dari kata hual= suka mengungkit-ungkit kesalahan atau keburukan orang lain atau membalikkan perkataan seseorang.
38 ) Kata pwapwarose (sekarang: poporose) berarti berusaha keras memperoleh sesuatu dengan memaksakan diri.
39 ) Kata wahidan berasal dari kata Sangsekerta vahita=amanat.
40 ) Kata rusit dalam bahasa Sunda sekarang menjadi rujit=menjijikkan, mengesalkan karena banyak tingkah atau karena terlalu memilih-milih.
41 ) Kata nangwa dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi nango(h)=menjulurkan muka dengan dagu ditopang sambil tidak berbuat atau memperhatikan sesuatu.
42 ) Kata lagu di sini berarti waktu (lagu indit)=waktu berangkat).
43 ) Padi yang ayöh (rebah) pada usia muda, masih dapat dipanen, sedangkan padi hampa (kalimat sebelumnya) nihil hasilnya.
44 ) Kata dayöh diartikan negeri berdasarkan penjelasan dalam kropak 630 lembar XV mengenai isi yang dimaksud:”Desa ma ngaranya dayöh, na dayöh lamun kosong hantö turutanönana”
45 ) Kata sikara berasal dari kata Sangsekerta svkara=kekayaan.
46 ) Kata simangke berdasarkan konteks kalimat diartikan “untuknanti”.
47 ) Mungkin sama dengan kata wulangga (gunung perhiasan). Perubahan wulangga menjadi hulangga dapat dibandingkan dengan perubahan kata Kawi wulanjar yang dalam Bahasa Sunda menjadi hulanjar.
48 ) Kata teoh sinonim dengan kata landöh: arti umumnya ialah tempat atau tanah yang rendah. Dalam kamus Coolsma diartikan “onder, beneden” (bawah).
49 ) Kata rampas di sini berarti jodoh atau pasang, seperti dalam kata sarampasan=sepasang, sejodoh atau satu setel.
50 ) Kata mangke dapat berarti nanti atau sekarang.
51 ) Tunggul=sisa bonhkot kayu bekas tebangan; catang=batang kayu yang sudah roboh.
52 ) Kata tuna di sini ambilan dari kata Sangsekerta tunda=batang atau belalai.
53 ) Kata teka juga ambilan dari kata Sangsekerta titka=runcing,meruncingkan. Kata cöndök dalam kropak 630 cedek (=sedek) yang berarti tusuk atau sodok.
Dalam kropak 630 (XII) terdapat ungkapan: Lamun urang daek dipuji makadyangganing galah dawa sinambungan tuna, rasa atoh ku pamuji; anggös ma dipake,….eta kangken galah dawa ta, eta kangken pare hapa ta ngarana”.
Maksudnya ialah perbuatan yang berlebihan sehingga menjadi sia-sia. Lawannya ialah “galah cedek tinugelan teka”.
54 ) Kata agama (a=tidak+gama=pergi, bergerak) sebenarnya berarti sesuatu yang tidak bergerak atau tidak berubah. Menurut Macdonell, arti kata agama (a suku pertama pendek) adalah: “immovable, tree”.
55 ) Kata pipirakan adalah jamak dari pirak perak (bukan cerai).
56 ) Kata kuras sebenarnya dikhususkan kepada hewan kaki empat yang berkuku (hoofed four-footed animal). Ungkapan lesang kuras (tak pandai menyimpan rezeki) mula-mula dimaksudkan: seseorang yang ternaknya selalu lepas (kabur) seolah-olah licin kulitnya.
57 ) Kata pake di sini sejalan penggunaannya dengan prasasti Kawali baris 8 dan 9 “pakena gawe rahayu”. Dalam Bahasa Sunda sekarang kira-kira sama dengan ungkapan pamake dalam arti adat dan perilaku. Untuk pemerintahan dapat diartikan kebijakan atau tindakan pemerintah.
58 ) Kata höwöng dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi löhöng=mendingan, lebih baik.
59 ) Kata pindah di sini berarti menjauhkan diri (lihat Marsito!).
60 ) Ongkoh-ongkwah (sekarang: ongkoh-ongkoh)=jongjon, tonggoy berarti tidak mempedulikan hal-hal lain karena tenggelam dalam hal yang sedang dihadapinya.
61 ) Dalam Bahasa Sunda dialek bogor ada ungkapan kasiwer=teperhatikan atau sempat diperhatikan; siwor atau siwer berarti memperhatikan atau menyempatkan diri.
Papatah Kolot Baheula Bahasa Sastra Sunda Buhun
Papatah Kolot Baheula Bahasa Sastra Sunda Buhun
Pepatah orang tua zaman dahulu dalam siloka sunda disebut juga dengan bahasa buhun kolot baheula. Uraian pada bahasan kata bahasa Sunda - mangrupakeun Papatah kolot baheula - Ieu seratan mangrupi pepeling buhun kanggo bahan renungan dina raraga ngamumule sastra basa sunda anu kiwari melempem kasered budaya deungeun.
Postingan papatah kolot baheula di handap ieu nyaeta paribasan jeung babasan sunda paling lengkep jeung hartina dina bahasa Indonesia, mudah-mudahan tiasa janten referensi kangge bahan renungan khususna pikeun urang sunda anu kiwari budayana tos ka geser ku budaya basa deungeun alias kabudayaan barat:
Ulah gugur samemeh tempur, ulah perlaya samemeh perang. Indit ka medan jerit ulah dengki, lumampah ka medan dadalaga ulah dendam, lumaku ka medan tempur ulah ujub
Taat sumembah kanu janten rama, sumujud tumut kanu janten ibu
Dihareupeun aya kasusah, ditukang pasti aya kabungah
Dahareun anu asup kanu awak, bakal jadi kulit, jadi daging, jadi sumsum, jadi balung, matak sing ati-ati
Mudah-mudahan urang kakungkung ku rohmat pitulung nu Maha Agung.
Sasanget-sangetna leuweung, moal leuwh sanget tibatan sungut
Manusa mah beda jeung anjing budug di jarian, dimana paeh ngan saukur bilatungan, tapi manusa sajabana ti bilatungan bakal anggih jeung balitungan
Kudu mampu tungkul kanu jukut, ulah tanggah ka sadapan, sing awas kana tincakan
Amit kanu mangku lembur, kanu nyungsi dinu sepi, nu keur genah tumaninah
Sanajan urang paanggang, hatemah paanjang-anjang. Sanajan urang papisah, kanu Maha Kawasa urang sumerah pasrah
Hariring lain nu kuring, haleuang lain nu urang. Hariring kagungan Nu Maha Wening, Haleuang kagungan Nu Maha Wenang
Jelema mah tungkul tumpuk kalalaputan, tanggah tempat kalalepatan. Samenit ganti sajam robah, sore janji isuk teu dipake
Lain sia kudu melaan agama, tapi agama nu kudu melaan sia. Sabab agama bakal nyalametkeun urang dunya akherat
Sakur nu rek ngarugikeun kana diri, bangsa jeung nagara, cegah ku diri sorangan
Jalma nu iman ka Pangeran, dimana datang bala sobar, datang untung sukur
Geura leungitkeun sirik pidik nu ngancik dina ati, aral subaha nu nyayang dina dada
Ditarima ku panangan dua, disuhun dinu embun-embunan, ditampi ku ati sanubari
Hirup kudu sauyunan, mun cai jadi saleuwi, ka darat jadi salogak. Sapapait samamanis, sabagja satanggung jawab, sareuneuh saigel
Ari nu ngaranna hukum adil teH teu ninian, teu akian, teu indungan, teu bapaan, teu sobat-sobat acan
Dimana urang doraka ka indung bapa, lir ibarat Lamun di lembur kai randu, lamun di leuweung kai dander. Dipake pangorek bingkeng, dipake pamikul bengkung. Dipake suluh matak teu ruhai, matak beuleuweung kanu niupna
Dina sawatara isuk, dina sawatara wanci haneut moyan, dina sawatara poe anu keur dilakonan, dina sawatara harepan, dina sawatara impian, mugi aya dina cageur jeung bageurna, panceg jeung ajegna, hirup jeung huripna, waluya balarea, prung tandang makalangan marengan caang jalan pasampangan
Peun we ah papait ka tukang, kaseudih anu kamari, tunggara anu mangkukna, rek dipendem ameh balem, disimpen cing rikip, ditunda, diecagkeun, moal di teang, moal di ingeut, geus wayahna nyampeur kabagja, geus wayahna ninggali kahareup, ajeug nangtungan hirup, ngabageakeun anjeun anu aya, anjeun anu nyanghareup, anjeun anu aya sajeroning rasa
Panon poe geus moncorong, indung beurang geus nyaangan, gearkeun hate anu aleum, heabkeun rasa anu tiis, bray hibar cahyana ka sakuliah alam dunya, mawa bagja keur urang sararea
Pajajaran kari ngaran, Pangrango geus narikolot, Mandalawangi ngaleungit, Nya dayeuh geus jadi leuweung.
Lamun neda kudu ka Pangeran, mustang ngeumbing mung ka Gusti. Sabab lamun menta ka manusa, matak bosen nganti-nganti
Amit ampun nya paralun, ka Gusti Nu Maha Agung, ka Nabi anu linuhung, Muhammad anu jinunjung
Kaluhur neda papayung, papayung Nu Maha Agung, kahandap neda pangraksa, pangraksa Maha Kawasa
Ampun ka anu Maha Agung, Nu kagungan Kun fayakun, Jleg ngadeg sakur kersa-Na, Bral gumelar kawasa-Na
Lain rek mamatahan nerekel ka monyet, mamatahan ngojay ka soang.
Geura menta hampura kanu jadi bapa, geura menta ampun kanu jadi indung, sabab duanana pangeran urang di alam dunya.
Sabar teh lain Ditampiling cicing, ditajong morongkol, digebug murungkut.
Sagolek pangkek, sacangred pageuh, teu unggut kalinduan, teu geudag kaanginan.
Meredih kana asihna Gusti, menta kana murahna nu Kawasa.
Jeung dulur mah Jauh silih tepungan, anggang silih teangan, gering silih ubaran, paeh silih lasanan, salah silih benerkeun, poekeun silih caangan, mun poho silih bejaan.
Dedeg sampe, rupa hade, patut teu nganjuk, rupa teu menta, na kalakuan teu beda ti euwah-euwah?
Bisi aya elmu kasungkur-sungkur, pangabisa nu can ka talaah, ajian nu kasingkir-singkir, geura taluktik ti kiwari, geura kotektak ti ayeuna.
Ulah jalir janji lanca-linci luncat mulang udar tina tali gadang
Zaman kiwari mah Anu dakwah kari pertentangna, anu ngaji kari hariringna, tapi kajahatanmah beuki meuweuh
Dimana-manahurung nangtung siang leumpang, caang jalan, lugina hate, kakait ati anu sajati, gagantar rasa anu sampurna, nun gusti .. teupangkeun kuring jeung manehna, meureun aya rasa, rasa bagja anu sampurna salamina
Kateter basa, kalangsu mangsa, katinggaleun poe, nyasab dina waktu, ayeuna, isuk jeung kamari, hiji niat na diri, miharep, ngapimilik anu sajati
Kudu paheuyeuk- heuyeuk leungeun paantay-antay tangan
Neangan luang tipapada urang
Ulah nyaliksik ku buuk leutik
Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purwadaksina
Ulah pagiri- giri calik, pagirang- girang tampian
Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
Nyaur kudu diukur nyabda kudu di unggang
Hirup di alam dunya sembaheun anging Gusti nu kagungan urang sadaya, nu ngajadikeun bumi, langit, sawarga, naraka jeung sagala eusina
Hate nu Kalingkung ku wawangunan, kalingker ku papageran.
Miindung ka waktu, mibapa ka zaman
Niti wanci nu mustari, ninggal mangsa nu sampurna, kahirupan di dunya taya lian keur taqwa.
Bagja dimana boga sobat medok, istri denok, sawah ledok.
Nu geulis jadi werejit, nu lanjang jadi baruang.
Nyukcruk galur nu kapungkur, mapay laratan anu baheula, nitih wanci nu kamari, ninggang mangsa nu sampurna. Sanajan urang beda tapi sarua, sanajan teu ngahiji tapi sa ati, milari ridho gusti nu Sajati.
Tunggul tong dirurud, catang tong dirumpak, hirup katungkul ku umur, paeh teu nyaho dimangsa. Sing inget kana purwadaksi, purwa wiwitan, daksi wekasan. Hartina sing apal kana diri, asal timana?, cicing dimana? Balik kamana?
Urang teh bakal pinanggih jeung poe akhir, nu ngandung harti poe pamungkas, raga ditinggalkeun nyawa, maot pingaraneunana. Bakal digiring kurung keur kuring, bakal dibulen saeneng-eneng, bakal ngagebleg deui jeung mantena.
Hirup katungkul ku umur, paeh teu apal dimangsa, numatak rinik-rinik kulit harti, cicing harti ngawincik diri, mun nyaah kana raga sing nyaho kana dasar agama.
Positip x posotip= positip. Negative x negative= positip. Positip x negative=negative. Nu bener dibenerkeun eta bener, nu salah disalahkeun eta bener. Nu bener disalahkeun eta salah, nu salah dibenerkeun eta salah.
Ratu tara ngahukum, raja tara nyiksa, melak cabe jadi cabe, melak bonteng jadi bonteng, melak hade jadi hade, melak goreng jadi goreng.
Ulah taluk pedah jauh, tong hoream pedah anggang, tong cicing pedah tebih jauh kudu dijugjug, anggang kudu diteang, tebih kudu di sungsi
Alam nirwana, alam asal, poe panjang, Nagara tunjung sampurna, nu baheula ka alaman, ngan kahalangan ku poho, sabab poe kamari lain poe ayeuna. (Akherat)
Wayang nyaeta gambaran kahirupan manusa Nu dipipindingingan ku silip sindir, dihalangan ku siloka sareng sasmita, kalayan dirimbunan ku gunung simbul.
Geus loba pangarti nu kapimilik, pangabisa nu geus kapibanda, elmu nu geus katimu. kari diamalkeun
Mipit amit, ngala menta, nyukcruk walungan, mapay wahangan, nete taraje, nincak hamalan, ipis lapis, kandel tapel. (malapah gedang)
Sing waspada jeung permana tinggal. (Waspada)
Inditna ulah ngagidig, nyokotna ulah ngaleos, mawana ulah ngalengkah.
Meredih tina ati, menta tina manah. Menekung kanu Maha Agung, muja brata kanu Maha Kawasa
Pasti teu bisa dipungkir, kadar teu bisa di singlar, papasten nu tumibar.
Sing bisa nilik kana diri, bisa ngukur kana kujur.
Elmu teh bakal ngancik tinu nyaring, bakal cicing dinu eling
Alam nirwana, alam asal, poe panjang, Nagara tunjung sampurna, nu baheula ka alaman, ngan kahalangan ku poho, sabab poe kamari lain poe ayeuna. (Akherat)
Wayang nyaeta gambaran kahirupan manusa Nu dipipindingingan ku silip sindir, dihalangan ku siloka sareng sasmita, kalayan dirimbunan ku gunung simbul.
Geus loba pangarti nu kapimilik, pangabisa nu geus kapibanda, elmu nu geus katimu. kari diamalkeun
Mipit amit, ngala menta, nyukcruk walungan, mapay wahangan, nete taraje, nincak hamalan, ipis lapis, kandel tapel. (malapah gedang)
Sing waspada jeung permana tinggal. (Waspada)
Inditna ulah ngagidig, nyokotna ulah ngaleos, mawana ulah ngalengkah.
Meredih tina ati, menta tina manah. Menekung kanu Maha Agung, muja brata kanu Maha Kawasa
Pasti teu bisa dipungkir, kadar teu bisa di singlar, papasten nu tumibar.
Sing bisa nilik kana diri, bisa ngukur kana kujur.
Elmu teh bakal ngancik tinu nyaring, bakal cicing dinu eling
Kalayan hapunten bilih kirang tata kirang titi duduga peryoga cologog sareng sajabina. Maklum ciri sabumi cara sadesa, bilih aya cara nukacandak ti desa nu kabantun ti kampung nukajingjing ti patepitan, bilih teu sapuk sareng mamanahan. Punten nu kasuhun.
Jeng dulur mah tong nepikeun tileletik silih ala pati, tilelemet getreng, tilelembut silih ala umur, tibubudak silih ala nyawa.
Ulah nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu anggang, nu caket geura raketan nu dekeut geura deueusan. Moal jauh tina wujud moal anggang tina awak, aya naon jeung aya saha? Tina diri sorangan, cirina satangtung diri. Pek geura panggihan silaturahmi teh jeung diri sorangan, ulah waka nyaksian batur, saksian heula diri sorangan kusorangan weh.
Sing diajar nulung kanu butuh, nalang kanu susah, ngahudangkeun kanu sare, ngajait kanu titeuleum, nyaangan kanu poekeun., mere kanu daek, nganteurkeu kanu sieun
Saban-saban robah mangsa ganti wanci ilang bulan kurunyung taun, sok mineng kabandungan manusa sanajan ngalamun salaput umur kahayang patema-tema kareup hanteu reureuh-reureuh, dageuning anu bakal karasamah anging kadar ti pangeran, manusa kadar rencana, Kabul aya tinu maha agung, laksana aya tinu maha kawasa.
Beurat nyuhun beurat nanggung beurat narimakeunnana. (Kecap nuhun)
Nyumput buni tinu caang, negrak bari teu katembong. (Tawadhu)
Tong Kabobodo tenjo, kasemaran tingali.
Najan Buuk hideung jadi bodas, dada antel kana bumi, buluan belut, jangjangan oray. moal waka wangsul saacan kenging ridho Gusti.
Indung anu ngandung bapa nu ngayuga, indung ngandung salapan bulan melendung, tapi indung henteu pundung sabab taqdir tinu maha Agung.
Ngeduk cikur kedah mihatur nyokel jahe kedah micarek (Trust – ngak boleh korupsi, maling, nilep, dlsb… kalo mo ngambil sesuatu harus seijin yg punya).
Sacangreud pageuh sagolek pangkek (Commitment, menepati janji & consitent).
Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purwadaksina (integrity harus mengikuti etika yang ada)
Nyaur kudu diukur nyabda kudu di unggang (communication skill, berbicara harus tepat, jelas, bermakna.. tidak asbun).
Kudu hade gogod hade tagog (Appearance harus dijaga agar punya performance yg okeh dan harus consitent dengan perilakunya –> John Robert Power melakukan training ini mereka punya Personality Training, dlsb).
Kudu silih asih, silih asah jeung silih asuh (harus saling mencintai, memberi nasihat dan mengayomi).
Pondok jodo panjang baraya (siapapun walopun jodo kita tetap persaudaraan harus tetap dijaga).
Ulah ngaliarkeun taleus ateul (jangan menyebarkan isu hoax, memfitnah, dlsb).
Bengkung ngariung bongok ngaronyok (team works & solidarity dalam hal menghadapi kesulitan/ problems/ masalah harus di solve bersama).
Lain palid ku cikiih lain datang ku cileuncang (Vision, Mission, Goal, Directions, dlsb… kudu ada tujuan yg jelas sebelum melangkah)
Bobot pangayun timbang taraju (Logic, semua yang dilakukan harus penuh pertimbangan fairness, logic, common sense, dlsb)
Kudu nepi memeh indit (Planning & Simulation… harus tiba sebelum berangkat, make sure semuanya di prepare dulu).
Taraje nangeuh dulang pinande (setiap tugas harus dilaksanakan dengan baik dan benar).
Ulah pagiri- giri calik, pagirang- girang tampian (jangan berebut kekuasaan).
Ulah ngukur baju sasereg awak (Objektivitas, jangan melihat dari hanya kaca mata sendiri).
Ulah nyaliksik ku buuk leutik (jangan memperalat yang lemah/ rakyat jelata)
Ulah keok memeh dipacok (Ksatria, jangan mundur sebelum berupaya keras).
Kudu bisa kabulu kabale (Gawul, kemana aja bisa menyesuaikan diri).
Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih (Ngulik, Ngoprek, segalanya harus pakai akal dan harus terus di ulik, di teliti, kalo sudah diteliti dan dijadikan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan).
Cai karacak ninggang batu laun laun jadi dekok (Persistent, keukeuh, semangat pantang mundur).
Neangan luang tipapada urang (Belajar mencari pengetahuan dari pengalaman orang lain).
Nu lain kudu dilainkeun nu enya kudu dienyakeun (speak the truth nothing but the truth).
Kudu paheuyeuk- heuyeuk leungeun paantay-antay tangan (saling bekerjasama membangun kemitraan yang kuat).
Ulah taluk pedah jauh tong hoream pedah anggang jauh kudu dijugjug anggang kudu diteang (maju terus pantang mundur).
Ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salogak (Kompak/ team work).
Mulih kajati mulang kaasal (semuanya berasal dari Yang Maha Kuasa yang maha murbeng alam, semua orang akan kembali keasalnya).
Dihin pinasti anyar pinanggih (semua kejadian telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa yang selalu menjaga hukum-hukumnya).
Melak cabe jadi cabe melak bonteng jadi bonteng, melak hade jadi hade melak goreng jadi goreng (Hukum Yang Maha Kuasa adalah selalu menjaga hukum-2nya, apa yang ditanam itulah yang dituai, kalau kita menanam kebaikan walaupun sekecil elektron tetep akan dibalas kebaikan pula, kalau kita menanam keburukan maka keburukan pula yg didapat…. kira-2 apa yang sudah kita tanam selama ini sampai-2 Indonesia nyungseb seeeeeb )? )
Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna (Gunakan akal dalam melangkah, buat apa Yang Maha Kuasa menciptakan akal kalau tidak digunakan sebagai mestinya).
Nimu luang tina burang (semua kejadian pasti ada hikmah/ manfaatnya apabila kita bisa menyikapinya dengan cara yang positive).
Omat urang kudu bisa ngaji diri (kita harus bisa mengkaji diri sendiri jangan suka menyalahkan orang lain)
Urang kudu jadi ajug ulah jadi lilin (Jangan sampai kita terbakar oleh ucapan kita, misalnya kita memberikan nasihat yagn baik kepada orang lain tapi dalam kenyataan sehari- hari kita terbakar oleh nasihat-2 yang kita berikan kepada yang lain tsb, seperti layaknya lilin yang memberikan penerangan tapi ikut terbakar abis bersama api yang dihasilkan).dlsb.
Gunung teu meunang di lebur, sagara teu meunang di ruksak, buyut teu meunang di rempak (Sustainable Development ~ Gunung tidak boleh dihancurkan, laut tidak boleh dirusak dan sejarah tidak boleh dilupakan… harus serasi dengan alam.).
Tatangkalan dileuweung teh kudu di pupusti (Pepohonan di hutan ituh harus di hormati, harus dibedakan istilah dipupusti (dihormati) dengan dipigusti (di Tuhankan) banyak yang salah arti disini).
Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak (hutan harus dijaga, sumber air harus dimaintain kalo tidak maka manusia akan sengsara).
Bilih aya basa atanapi kata anu teu kahartos tiasa dibuka kamus besar basa sunda lajeng pilari kata anu dipimaksad.
tatanan kehidupan sunda
Manusia Sunda pada waktu itu hidup dalam ruang yang disebut komunitas ‘ngabubuhan’ yang dikepalai oleh seorang ‘Daleum’. Tatanan kehidupan sosial mereka gotong royong ‘liliuran’ dan ‘paheuyek-heuyeuk leungeun’ . Hal yang sangat dijauhi dalam kehidupan mereka adalah ‘mipit teu amit, ngala teu menta, menta teubebeja, ngagedag teu bewara.” Dan sangat menghormati tatacara: n geduk cikur kudu mihatur, nyokel jahe kudu micarek; tigin kana jangji, bela kana lisan buyut saur larangan sabda, ulah kabita ku imah bodas, ulah kagendam ku pingping bodas, ulah heroy ku sangu bodas’ .
SUNDA, arti & pandangan hidup
1. Arti dari istilah Sunda
a. Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta
Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:
· Sunda dari akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
· Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
· Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda;
· Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana;
· Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih;
· Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P Koesoemadinata, 1959).
b. Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi
Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu:
· Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air;
· Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur;
· Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas;
· Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.
c. Dalam Bahasa Jawa:
Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:
· Sunda berarti “tersusun “ maknanya tertib;
· Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun;
· Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang;
· Sunda, dari kata “unda” atau “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
· Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini adalah semakin berkualitas.
d. Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda
Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu:
· Sunda, dari kata “saunda”, berarti lumbung, bermakna subur makmur;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti bagus;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti unggul;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti senang;
· Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia;
· Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati;
· Sunda, dari kata “sundara”, berarti lelaki yang tampan;
· Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik;
· Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
· Sunda berarti indah.
2. Purnawarman dan Istilah Sunda
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura, pertama kalinya nama “Sunda” digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Kalau kita pahami dan mencerna lebih mendalam tentang arti-arti kata “Sunda” yangdiberikan oleh Purnawarman di atas nampaknya kita tidak menemukan sebuah arti jelek atau kurang baik. Selama ini banyak orang yang mengatakan apa arti sebuah nama?, namun ada juga orang yang mengatakan bahwa nama merupakan sebuah do’a. terlepas dari semuanya itu, yang pasti manusia secara mendasar tidak menginginkan sesuatu itu jelek atau buruk, mereka selalu mengharapkan kebaikan, keindahan atau kesempurnaan. Maka untuk itu Purnawarman yang memberikan nama istilah “Sunda”, tentunya menghendaki adanya kebaikan terhadap apa yang diberinya nama.
3. Hubungan nama dan pandangan hidupnya.
Tujuan dan harapan dari kata “Sunda” tetunya mengharapkan kebaikan dalam berbagai aspek di masyarakat. Hanya sebuah nama tentunya tidak akan berarti apabila tidak diiringi dengan pandangan hidup masyarakatnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung dari nama yang baik itu tentunya masyarakat harus menciptakan norma-norma kemasyarakatan, agar tujuan dari pemberian nama tersebut dapat berhasil.
Norma-norma tersebut merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang sudah barang tentu dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat bahkan semua bangsa di muka bumi ini. Masalah pandangan hidup suatu bangsa merupakan persoalan yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa. Karena, dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pandangan hidup suatu bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Masyarakat Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat dan budaya lainnya. Pandangan hidup itu mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.
Munculnya pandangan hidup ini tentunya sebuah harapan agar terciptanya sebuah kesinambungan antara nama dengan tingkah laku masyarakatnya. Nama sunda yang sudah baik, tidak akan terlaksana baik apa bila masyarakatnya tidak memiliki pandangan hidup yang baik, padangan hidup ini harus menjadi sebuah norma sehingga masyarakatnya benar-benar mentaatinya dan tujuan akhirnya adalah tercipta kebaikan dalam masyarakatnya seperti apa yang tersirat dalam arti nama sunda.
4. Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia, agar tujuan dari arti nama “Sunda” itu dapat tercapai?
1) Kawas gula jeung peueut
“seperti gula dengan nira yang matang”
artinya : hidup rukun sayang menyayangi, tidak pernah berselisih.
2) Ulah kawas seuneu jeung injuk
“jangan sepert api dengan ijuk”
Artinya: jangan mudah berselisih.agar pandai mengendalikan napsu-napsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain.
3) Ulah nyieun pucuk ti girang
“jangan merusak tunas dari hulu”
Artinya: jangan mencari bibit permusuhan
4) Ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela
“jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela”
Artinya: jangan mengajak orang lain untuk melakukan kejelekan dan permusuhan.
5) Bisi aya ti geusan mandi
“kalau-kalau ada dari tempat mandi”
Artinya: segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak tersinggung.
6) Henteu asa jeung jiga
“tidak merasa sangsi dan ragu”
Artinya: sudah merasa seperti saudara, bersahabat
7) Yén ana perkara ajang dhéng buka (Jawa-Cirebon)
“jika ada perkara jangan dibuka”
Artinya: jika kita mengetahui sesuatu kejelekan orang lain, hal itu Janganlah disebarluaskan.
Kita melakukan suatu kebajikan ataupun kebaikan terhadap orang lain atau seseorang harus merupakan kesadaran dari diri kita sendiri, jangan sekedar terbawabawa saja, seperti tampak dalam contoh berikut ini:
8) Ulah rubuh-rubuh gedang
“jangan rebah seperti papaya”
Artinya: janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain melakukannya.
Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai ‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial, sopan-santun, dan kesusilaan. Sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:
9) Ngadeudeul ku congo rambut
“memberi bantuan dengan ujung rambut”
Artinya: memberi sumbangan atau bantuan kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati.
10) Pondok jodo panjang baraya
“pendek jodoh panjang persaudaraan”
Artinya: meskipun sebagai suami istri sudah berpisah, hendaknya persaudaraan tetap dilanjutkan/dipertahankan.
(ditambah ungkapan nomor 2)
Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang lain ke dalam perselisihan, sebagaimana tampak dalam ungkapan Nomor 2,3, dan Selain itu, ada juga ungkapan sebagaimana berikut ini.
11) Ulah marebutkeun balung tanpa eusi
“jangan memperebutkan tulang tanpa isi”
Artinya: jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya’
12)Ulah ngadu-ngadu raja wisuna
“jangan membangkitkan amarah”
Artinya: jangan membangkitkan bibit kemarahan antara dua orang agar pecah persahabatannya/berpisah bersahabat.
Hidup rukun dan damai akan tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi, saling hormat-menghormati, dan tidak memancing keresahan dan kemarahan orang lain, seperti tampak pada ungkapan nomor 3 dan 7 di samping ungkapan berikut ini:
13) Ulah ngaliarkeun taleus ateul
“jangan menyebarkan talas gatal”
Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan/keresahan.
Selain itu, di dalam proses interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota masyarakat itu sendiri. Seperti terungkap dalam data nomor 5 dan ungkapan berikut ini:
14) Ulah nyolok mata buncelik
“jangan mencolok mata yang melotot”
Artinya: jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain, dengan maksud mempermalukan orang lain.
15) Ulah biwir nyiru rombengeun
“bibir jangan seperti niru yang rusak dan sobek-sobek”
Artinya: janganlah membicarakan sesuatu yang tidak pantas
terdengar oleh orang lain, senantiasa mengendalikan diri dalam bertutur kata.
Sesuai dengan sosial solidaritas, bahwa dalam berkehidupan bermasyarakat kita tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan keputusan pribadi yang tidak menguntungkan, sesuai dengan sikap yang dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri, sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:
16) Buruk-buruk papan jati
“betapa pun lapuknya kayu jati itu kuat”
Artinya: betapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
17) Kaciwit daging kabawa tulang
“tercubit kulit dagingpun terbawa”
Artinya: ikut tercemar karena perbuatan salah seorang sanak keluarga
18)Ulah mapay ka puhu leungeun
“jangan menyusur ke pangkal lengan”
Artinya: janganlah kesalahan anak membawa buruk kepada orang tuanya.
Manusia di muka bumi ini sesuai dengan ajaran agama diwajibkan saling hormat-menghormati, dan saling harga menghargai dengan sesama manusia, sesuai pula dengan sila Pancasila. Dalam masyarakat Sunda pun hal itu tercermin pada ungkapan berikut ini:
19) Wong asih ora kurang pangalé, wong sengit ora kurang panyacad
“orang pengasih tidak kurang pujian, orang yang jelek (pemarah) tidak kekurangan celaan”
Artinya: orang yang pengasih kepada yang lain akan disenangi, dan orang yang bengis akan dibenci.
20) Ana deleng dén deleng, anu rungu dén rungu
“ada penglihatan dilihat, ada pendengaran didengar”
Artinya: jika ada sesuatu lihatlah atau dengarlah dengan patuh, tetapi janganlah dilihat atau didengar dengan tujuan jelek.
Data ungkapan yang telah disajikan, yang merupakan pencerminan dari adanya hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakatnya sesuai dengan pandangan hidup orang Sunda, juga dengan folkwas, solidarity social, juga tentang fungsi keluarga dan tatasosial dalam masyarakat Sunda.
5. Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan anatara manusia dengan Negara dan bangsa?
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjungjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga
1. Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa.
“‘harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki negara, bermupakat kepada orang banyak”
Artinya: harus menjungjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
Masyarakat Sunda memetingkan kerja sama dalam kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakatnya, sebagaimana tampak dalam ungkapan nomor 8 dan ungkapan berikut ini:
2. Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
“melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam berhimpun”
Artinya: bersama-sama dalam suka dan duka.
Dalam hidup bermasyarakat, di dalam masyarakat Sunda kita dituntut agar dapat mengerjakan sesuatu itu lebih mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana tercermin dalam ungkapan berikut ini:
3. Kudu inget ka bali geusan ngajadi
“harus ingat kepada tempat kejadian”
Artinya: harus selalu ingat ke tempat dilahirkan/kelahira
4. Lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang
“bukan hanyut karena air kencing, bukan datang karena air hujan”
Artinya: bukan hadir tanpa tujuan
5. Dén hormat maring pusaka, leluhur, wong atua karo, guru, lan ratu.
“harus hormat terhadap pusaka, leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja”
Artinya: pusaka leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja harus dihormati.
Masalah yang tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda ialah bahwa kita harus menjungjung tinggi keadilan dan kebenaran. Seperti tercermin dalam ungkapan berikut ini:
6. Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju
“memohon pertimbangan”
Artinya: memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun.
7. Yén ana angin bolang-baling, aja gandulan wit ing kiara, tapi gandulana suket sadagori.
“ jika ada angin ribut, jangan berpegang pada kiara, tetapi peganglah tumbuhan sadagori”
Artinya: jika terjadi huru-hara, janganlah berpegang pada yang besar atau berkuasa, tetapi berpeganglah kepada sesuatu yang sering dianggap kecil, yakni kebenaran.
8. Sakunang ananing geni, sadom ananing baraya
“walaupun sebesar kunang-kunang adalah api, walaupun seujung jarum adalah senjata”
Artinya: sekecil apapun milik negara itu harus tetap dipertanggungjawabkan.
Dari hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau pemerintah. Mengenai norma dan aturan dalam masyarakat Sunda dapat dilihat dalam ungkapan nomor 27 dan ungkapan berikut ini.
9. Aja nolak kandika pandita ratu
“jangan menolak perintah pendeta/raja”
Artinya: turutilah segala perintah/keputusan atau aturan ulama dan pemerintah.
Ungkapan pandangan hidup yang ada di atas jelas melambangan sebuah harapan agar masyarakat Sunda menjadi manusia yang baik secara individu maupun secara kelompok. Paribahasa atau ungkapan yang diuraikan diatas merupakan sebuah bentuk terjemahan dari arti “Sunda”. Namun yang jadi masalah sekarang adalah apakah arti nama dan pandangan hidup itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Sunda?
Pertanyan Besar ini tidak perlu di jawab disini, semua orang bisa menilai diri pribadi masing-masing. Kalaupun arti nama dan pribahasa itu belum di jalankan bukan salah orang-orang pendahulu memberikan nama, tetapi lebih kepada individu masing-masing.
Papatah Sunda
Papatah Sunda Falsafah Kahirupan Manusa
Fikiran manusia mangaruhan sagala tingkah polah kahirupan urang sapopoe. Mun seug daek eling kana purwadaksi moal matak sasar dina ngajalankeun tugas sarta kawajiban urang salaku hamba nu moal bakal hirup salalawasna.
Jodo, pati, bagja jeung cilaka diatur kunu Maha Kawasa. Takdir moal bisa dipungkir kadar ti Pangeran. Hayu urang lempengkeun jarum hate sangkan meunangkeun kabagjaan hirup dunia rawuh akherat.
Dina tulisan ieu seja ditulis saperkawis Papatah Sunda Falsafah Kahirupan Manusa pikeun diemutan dilenyepan ku urang samudayana.
Saban-saban robah mangsa ganti wanci ilang bulan kurunyung taun, sok mineng kabandungan jelema, sanajan ngalamun salaput umur, kahayang patema-tema, karep heunteu reureuh-reureuh. dageuning nu bakal karasa mah anging kadar ti pangeran, manusa kadar rancana, kabul aya tinu Maha Agung, Laksana aya tinu Maha Kawasa.
Ulah Nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu anggang, nu caket geura raketan, nu deukeut geura deheusan, moal jauh tina wujud moal anggang tina awak, aya naon jeung aya saha? tina diri sorangan. cirina satangtung diri. pek geura panggihan diri manehteh, ku maneh weh sorangan, ulah waka nyaksian batur saksian heula diri sorangan.
Sing Daek nulung kanu butuh, nalang kanu susah, ngahudangkeun kanu sare, ngajait kanu titeuleum, mere kanu daek, nyaangan kanu poekeun.
Pitutur para guru, papatah para ulama, pangeling para kiyai rawuh para karuhun anu mere tuduh jalan sangkan ulah kajongjonan, jeng kamalinaan
Geura suprih ku pangarti, paruruh ku pangaweruh sakumna elmu, geura eling kana purwadaksi emut kana tuturus laku, urang teh asal timana?
Balik bakal kamana,…….?
Ayeuna cicing dimana,….?
Lenyepan sing taliti.
Larapkeun na sanubari, disarengan kulampahna.
Tanya heula eta rasa, talek heula eta hate, tilik deui eta diri
Dimana ayeuna ngancik?
Tekadkeun sing enya-enya pikeun sakabeh laku lampahna, bisi goreng balukarna, napsu nu matak kaduhung, awak nukatempuhan, tina atikan atanapi tina didikan nu munggaran, kasasar nya lampah, pajauh nya laku, jeung buntu dina laku, yakin dina pamadegan, tanjeurkeun beubeuneran sangkan meunang kabagjaan., dunia rawuh akherat.
Eta saalitna tina papatah sunda anu mangrupikeun falsafah kahirupan pikeun urang salaku manusa anu keur kumelenang di alam dunia. Mangga diaos deui tulisan bahasa sunda sanesna anu langkung sae papatah kolot baheula pikeun urang Sunda.
kajian falsafah sunda
Panitia meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”. Sejarah dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan masing-masing memerlukan keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli dalam keduanya. Saya mau menerima permintaan Panita, namun hanya mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah Sunda. Bukan karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda” yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang “fasafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!
Panitia sendiri menulis dalam Term of reference -nya, bahwa “Sunda dan kesundaan sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana kesimpulan itu diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil menemukan “kekayaan” itu. Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik orang Sunda atau warisan dari karuhun Sunda, setelah dikaji agak mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja dari India, dari Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan secara profesional.
“Falsafah” atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama dengan istilah “philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford Companion to Philosophy (ed. Ted Honderich, New York, Oxford University Press, 1995), definisi “philosophy” yang paling singkat dan tepat ialah berpikir tentang berpikir ( thinking about thinking ). Adapun definisi yang lebih rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan rasional, secara kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia (metafisik atau tiori tentang eksistensi), pembenaran atas kepercayaan (epistemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan) serta cara hidup sehari-hari (etika atau teori nilai).
Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan sederhana ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu tidak hanya yang dilakukan dalam kepala seseorang, melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui oleh orang yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa tradisi menulis di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda termasuk yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional mengenai eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang. Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu nampak dalam naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna – yang sekarang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf Latin. Sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis! Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda .
Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk puisi, walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya kebanyakan disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan tangan dari seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan deskripsi étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé Bandung (1924), yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai Kurdi dari pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.
Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu bangsa atau suku bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani misalnya, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, Aristippus, Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern yang berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine Tsatsos, Panayotis Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos dll. Keseluruhan pemikiran para filosof itulah yang membangun apa yang disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka pemikirannya bukan saja tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu sama lain. Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil pemikiran orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau berbicara tentang “falsafah Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”, dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh pemikiran yang timbul di masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan yang bulat, karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain. Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua pemikiran yang dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup, tentang mati, tentang seni, tentang agama dll. Masalahnya ialah karena orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan naskah tertulis mengenai hal itu, sehingga kita sulit menjejakinya.
Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang Sunda”, kita tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis. Memang pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak berharga. Tradisi lisan menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya melalui berbagai cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang dahulu menjadi cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak berfungsi lagi. Kearifan hidup dari nenek moyang tidak lagi disampaikan kepada anak cucu, karena masarakat Sunda mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek moyang orang Sunda yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak dapat disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat untuk hal-hal demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah Sunda”, namun hampir tidak dikenal lagi oleh komunitas manusia yang sekarang disebut orang Sunda. Karena “falsafah” itu merupakan pandangan tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut seseorang atau sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama dengan “pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah dijadikan kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.
Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh kedua tahun 1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang Sunda” dan menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan oleh tim peneliti yang berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Suwarsih Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs. Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya (1987), hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan walaupun Ketua Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih Rostoyati. Sedang yang ketiga judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan Tim yang terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati, dan Drs. Undang Ahmad Darsa.
Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan cukup mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis dalam naskah-naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi lisan dan berdasarkan hasil wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa ini – yaitu pada masa penelitian itu dilangsungkan kl. 20 tahun yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata konsisten dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai pegangan kita dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana gerangan yang disebut “falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan apakah istilah “falsafah” yang dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan hidup” lebih sempit dari “falsafah” dan sebagainya.
*
Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;
2. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
3. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
4. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
5. pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera Sunda, yaitu yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung Kasarung , naskah Sanghyang Kanda ng Karesian , sawér pangantén, roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero (1928) karya R. Méméd Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan terhadap uga, Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan), roman Rusiah nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain Éta (1934) karya Moh. Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad Bakri.
Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa ).
Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan), sebagai sampel diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota, Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan Sukabumi pedesaan. Semua responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang = 336 orang, berusia antara 17 – 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel 336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.
Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan perubahan.
Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi
Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya guru yang akan menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam masyarakat Sunda. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian
dikatakan bahwa orang dapat berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar bertanya kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan baik. Terimalah kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat orang lain.
2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat
Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tenang dan tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai kesempurnaan di akhirat. Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia. Mendapat kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas dari hidup tanpa tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman neraka di akhirat.
Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran karuhun, pesan orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam cerita-cerita pantun, dan yang berbentuk naskah seperti
Siksa Kandang Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi: (1) sebagai pedoman dalam menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap kehendak dan nafsu yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.
Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.
3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam
Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.
Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan, dll. ” yang berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.
4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan
Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan. Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai Alam), Nu Mahawisésa (Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang Widi (Yang Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada waktunya.
5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya. Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan dipelihara, makan cukup, pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta kekayaan. Tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan dengan penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan kerja sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang berlaku di tempat hidupnya. Berusaha mencapai hari depan yang lebih baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.
Pergeseran dan perubahan
Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah sampel, di sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap dipertahankan, ada yang bergeser dan ada pula yang berubah. Pada pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat pergeseran mengenai pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul dengan keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana. Pandangan semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang mengalami perubahan adalah mengenai bicara arif, bertindak hati-hati, ramah kepada pedatang, pengalihan kebiasaan dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak usah lagi malapah gedang , lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang perasaan orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus waspada. Kebiasaan dirubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan menanam padi, kalau ternyata memelihara ikan lebih menguntungkan, maka kebiasaan itu ditinggalkan.
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung terjadi pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang membantu anggota keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong menggantungkan diri pada orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala keinginan dan nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang berubah ialah tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri terhadap suami (menjadi setara sebagai teman hidup).
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi penguatan dan pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan keesaan Tuhan, sekarang menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan Mahakuasa kian kuat. Manusia harus berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian penting baik di rumah, di sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah yang bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap terhadap uga.
Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama dipertahankan. Hanya kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal yang mendorong orang untuk menyegani pemiliknya.
Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami pergeseran dan perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang menetap di kawasan sampel penelitian. ……………. Nampak pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang lebih waspada, yang lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).
Pareumeun Obor
Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam pikiran orang Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda – walaupun menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah
Bab Adat Urang Priangan jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi etnografis, dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai buku – yang menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang berasal dari lisan malah digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap II tidak tercermin adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-bahan yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu pula melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel hanya 336 orang, kita bertanya-tanya apakah benar telah secara representatif mewakili alam pikiran orang Sunda yang jumlahnya pasti lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha mengajukan kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.
Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya, misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan pada pandangan hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I dan II dengan hasil penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada tradisinya dengan hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal tertentu saja?
Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita melihat nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki, ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi, tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa lebih baik memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana – alias tidak bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah kuna seperti
Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18) dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah” dan sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo . Lebih mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap “berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.
Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka, tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan juga sampai sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu Nyunda ! Artinya telah terjadi pergeseran dari sikap terbuka terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang Karesian. Tetapi sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.
Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa Kandang Karesian
sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan nyata orang Sunda sejak beberapa lama – mungkin beberapa abad. Hal yang dapat kita maklumi karena naskah Siksa Kandang Karesian tidak dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa abad.
Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan alam, kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk melestarikan alam yang harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan digunakan secukupnya saja”. Sudah lama kita melihat – lama sebelum pada masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang dan hutan lindung lain sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada lagi hutan – para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan sungai-sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang mengingatkan akan bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar. Nasihat
Siksa Kandang Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk hidup” sudah lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang kebanyakan sudah terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat.
Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja misalnya sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin – dengan konsekuensi mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa. Dan kalau terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi. Sekarang semua orang seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik buruknya dan tidak nampak usaha untuk mempertahankan warisan nenekmoyang yang berharga.
Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan yang mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang karena perjalanan sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi selanjutnya, baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian , yang pada masanya menjadi pegangan orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh generasi tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama, budaya dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan balaréa, dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti
pareumeun obor.
Pabelan, 12 Agustus, 2006.
tulisan-tulisan menarik dr kang Ajip R bisa di lihat di : Ajip-Rosidi.com