Panitia meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”. Sejarah dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan masing-masing memerlukan keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli dalam keduanya. Saya mau menerima permintaan Panita, namun hanya mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah Sunda. Bukan karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda” yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang “fasafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!
Panitia sendiri menulis dalam Term of reference -nya, bahwa “Sunda dan kesundaan sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana kesimpulan itu diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil menemukan “kekayaan” itu. Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik orang Sunda atau warisan dari karuhun Sunda, setelah dikaji agak mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja dari India, dari Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan secara profesional.
“Falsafah” atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama dengan istilah “philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford Companion to Philosophy (ed. Ted Honderich, New York, Oxford University Press, 1995), definisi “philosophy” yang paling singkat dan tepat ialah berpikir tentang berpikir ( thinking about thinking ). Adapun definisi yang lebih rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan rasional, secara kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia (metafisik atau tiori tentang eksistensi), pembenaran atas kepercayaan (epistemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan) serta cara hidup sehari-hari (etika atau teori nilai).
Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan sederhana ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu tidak hanya yang dilakukan dalam kepala seseorang, melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui oleh orang yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa tradisi menulis di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda termasuk yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional mengenai eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang. Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu nampak dalam naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna – yang sekarang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf Latin. Sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis! Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda .
Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk puisi, walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya kebanyakan disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan tangan dari seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan deskripsi étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé Bandung (1924), yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai Kurdi dari pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.
Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu bangsa atau suku bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani misalnya, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, Aristippus, Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern yang berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine Tsatsos, Panayotis Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos dll. Keseluruhan pemikiran para filosof itulah yang membangun apa yang disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka pemikirannya bukan saja tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu sama lain. Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil pemikiran orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau berbicara tentang “falsafah Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”, dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh pemikiran yang timbul di masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan yang bulat, karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain. Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua pemikiran yang dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup, tentang mati, tentang seni, tentang agama dll. Masalahnya ialah karena orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan naskah tertulis mengenai hal itu, sehingga kita sulit menjejakinya.
Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang Sunda”, kita tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis. Memang pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak berharga. Tradisi lisan menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya melalui berbagai cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang dahulu menjadi cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak berfungsi lagi. Kearifan hidup dari nenek moyang tidak lagi disampaikan kepada anak cucu, karena masarakat Sunda mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek moyang orang Sunda yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak dapat disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat untuk hal-hal demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah Sunda”, namun hampir tidak dikenal lagi oleh komunitas manusia yang sekarang disebut orang Sunda. Karena “falsafah” itu merupakan pandangan tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut seseorang atau sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama dengan “pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah dijadikan kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.
Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh kedua tahun 1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang Sunda” dan menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan oleh tim peneliti yang berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Suwarsih Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs. Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya (1987), hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan walaupun Ketua Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih Rostoyati. Sedang yang ketiga judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan Tim yang terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati, dan Drs. Undang Ahmad Darsa.
Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan cukup mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis dalam naskah-naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi lisan dan berdasarkan hasil wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa ini – yaitu pada masa penelitian itu dilangsungkan kl. 20 tahun yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata konsisten dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai pegangan kita dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana gerangan yang disebut “falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan apakah istilah “falsafah” yang dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan hidup” lebih sempit dari “falsafah” dan sebagainya.
*
Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;
2. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
3. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
4. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
5. pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera Sunda, yaitu yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung Kasarung , naskah Sanghyang Kanda ng Karesian , sawér pangantén, roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero (1928) karya R. Méméd Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan terhadap uga, Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan), roman Rusiah nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain Éta (1934) karya Moh. Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad Bakri.
Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa ).
Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan), sebagai sampel diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota, Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan Sukabumi pedesaan. Semua responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang = 336 orang, berusia antara 17 – 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel 336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.
Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan perubahan.
Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi
Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya guru yang akan menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam masyarakat Sunda. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian
dikatakan bahwa orang dapat berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar bertanya kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan baik. Terimalah kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat orang lain.
2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat
Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tenang dan tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai kesempurnaan di akhirat. Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia. Mendapat kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas dari hidup tanpa tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman neraka di akhirat.
Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran karuhun, pesan orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam cerita-cerita pantun, dan yang berbentuk naskah seperti
Siksa Kandang Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi: (1) sebagai pedoman dalam menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap kehendak dan nafsu yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.
Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.
3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam
Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.
Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan, dll. ” yang berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.
4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan
Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan. Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai Alam), Nu Mahawisésa (Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang Widi (Yang Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada waktunya.
5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya. Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan dipelihara, makan cukup, pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta kekayaan. Tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan dengan penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan kerja sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang berlaku di tempat hidupnya. Berusaha mencapai hari depan yang lebih baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.
Pergeseran dan perubahan
Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah sampel, di sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap dipertahankan, ada yang bergeser dan ada pula yang berubah. Pada pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat pergeseran mengenai pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul dengan keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana. Pandangan semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang mengalami perubahan adalah mengenai bicara arif, bertindak hati-hati, ramah kepada pedatang, pengalihan kebiasaan dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak usah lagi malapah gedang , lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang perasaan orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus waspada. Kebiasaan dirubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan menanam padi, kalau ternyata memelihara ikan lebih menguntungkan, maka kebiasaan itu ditinggalkan.
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung terjadi pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang membantu anggota keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong menggantungkan diri pada orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala keinginan dan nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang berubah ialah tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri terhadap suami (menjadi setara sebagai teman hidup).
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi penguatan dan pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan keesaan Tuhan, sekarang menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan Mahakuasa kian kuat. Manusia harus berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian penting baik di rumah, di sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah yang bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap terhadap uga.
Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama dipertahankan. Hanya kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal yang mendorong orang untuk menyegani pemiliknya.
Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami pergeseran dan perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang menetap di kawasan sampel penelitian. ……………. Nampak pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang lebih waspada, yang lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).
Pareumeun Obor
Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam pikiran orang Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda – walaupun menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah
Bab Adat Urang Priangan jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi etnografis, dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai buku – yang menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang berasal dari lisan malah digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap II tidak tercermin adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-bahan yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu pula melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel hanya 336 orang, kita bertanya-tanya apakah benar telah secara representatif mewakili alam pikiran orang Sunda yang jumlahnya pasti lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha mengajukan kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.
Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya, misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan pada pandangan hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I dan II dengan hasil penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada tradisinya dengan hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal tertentu saja?
Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita melihat nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki, ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi, tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa lebih baik memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana – alias tidak bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah kuna seperti
Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18) dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah” dan sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo . Lebih mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap “berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.
Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka, tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan juga sampai sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu Nyunda ! Artinya telah terjadi pergeseran dari sikap terbuka terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang Karesian. Tetapi sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.
Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa Kandang Karesian
sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan nyata orang Sunda sejak beberapa lama – mungkin beberapa abad. Hal yang dapat kita maklumi karena naskah Siksa Kandang Karesian tidak dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa abad.
Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan alam, kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk melestarikan alam yang harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan digunakan secukupnya saja”. Sudah lama kita melihat – lama sebelum pada masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang dan hutan lindung lain sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada lagi hutan – para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan sungai-sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang mengingatkan akan bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar. Nasihat
Siksa Kandang Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk hidup” sudah lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang kebanyakan sudah terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat.
Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja misalnya sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin – dengan konsekuensi mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa. Dan kalau terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi. Sekarang semua orang seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik buruknya dan tidak nampak usaha untuk mempertahankan warisan nenekmoyang yang berharga.
Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan yang mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang karena perjalanan sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi selanjutnya, baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian , yang pada masanya menjadi pegangan orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh generasi tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama, budaya dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan balaréa, dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti
pareumeun obor.
Pabelan, 12 Agustus, 2006.
tulisan-tulisan menarik dr kang Ajip R bisa di lihat di : Ajip-Rosidi.com
Senin, 27 Maret 2017
kajian falsafah sunda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar