Senin, 27 Maret 2017

KONSEP CINTA MENURUT ERICH FROMM

KONSEP CINTA MENURUT ERICH FROMM
Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di University Heidelberg, Frankfurt, dan Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelberg tahun 1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut psikoanalisis Berlin yang terkenal waktu itu. Tahun 1933 ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York City. Ia pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.
Teori Cinta Erich Fromm
Cinta dalam bahasa Latin mempunyai istilah amor dan caritas. Dalam istilah Yunani disebut philia, eros dan agape. Philia mempunyai konotasi cinta yang terdapat dalam persahabatan (dalam bahasa Cina sinonimnya jen). Amor eros adalah jenis cinta berdasarkan keinginan. Caritas dan agape merupakan tipe cinta yang lebih tinggi dan tidak mementingkan diri sendiri.Cinta adalah reaksi yang dipelajari dan emosional. Cinta merupakan tanggapan terhadap kelompok rangsangan dan perilaku yang dipelajari. Cinta adalah interaksi dinamis dihayati dalam setiap kehidupan kita. Maka cinta ada dimana-mana dan kapan saja.Erich Fromm menjelaskan bahwa cinta adalah suatu kegiatan yang aktif. Karena itu cinta memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya dan mencintai adalah memberikan kebebasan demi pertumbuhan yang dicintai. Dengan demikian cinta bukanlah suatu pengaruh pasif. Cinta adalah Standing in (tetap tegak di dalam) bukan Falling for (Jatuh untuk).
Jika cinta adalah suatu kegiatan, berarti ia bukanlah benda melainkan lebih pada kerja, aktivitas, orientasi. Cinta bukanlah komoditas barang yang dapat dibarter dan diperjualbelikan apalagi dipaksakan oleh orang lain, karena ia tidak bisa terwujud dengan paksaan. Cinta adalah pilihan bebas yang diberikan secara suka rela atas kemauan sendiri dan rasional. Jika sesorang ingin membagi cintanya kepada orang lain, ia bebas memberikannya. Begitu juga sebaliknya, jika ada keinginan untuk tidak memberikan cintanya kepada orang lain, itu juga memberikan kebebasan baginya. Oleh karena itu, dalam cinta dituntut kedewasaan dalam berpikir, serta kesadaran dalam memilih.Ekspresi tipikal cinta tidaklah mendominasi atau memiliki. Ekspresi ini, sebaliknya adalah pemberian secara mutual, yakni menerima dan memberi. Karena itu, menurut Marcel, cinta kita rasakan terhadap makhluk ini sama dengan keyakinan yang kita rasakan terhadap Tuhan.
Aktivitas yang paling jelas dalam kegiatan cinta dan mencintai adalah memberi. Menurut Fromm, selama ini ada kesalahan luar biasa dalam tindakan “memberi”. Memberi sering disamakan dengan “memberikan” sesuatu atau mengorbankan sesuatu. Bagi pribadi-pribadi yang perkembangan karakternya berhenti pada tahap orientasi reseptif, eksploitatif atau menimbun, tindakan “memberi” memang dimaknai dalam pengertian ini. Orang yang berkarakter pasar hanya akan memberi jika dia mendapat untung. Orang yang mengidap orientasi non-produktif akan merasa tindakan memberinya sebagai bentuk pemiskinan. Sementara orang yang berkarakter produktif, tindakan memberinya dimaknai sebagai bentuk ekspresi tertinggi dari potensi yang ada dalam diri mereka. Bagi mereka memberi adalah potensi dan vitalitas manusia yang menghasilkan kegembiraan luar biasa daripada menerima. Karena itulah mereka percaya dengan sebuah yang mengatakan “tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah”.
Memberi di sini menurut Fromm bukanlah sekedar memberi materi, tetapi diri, kehadiranku, lebih jauh dari itu eksistensiku, semangat hidup dan perasaan bersama. Tegasnya tindakan memberi bukan terletak dalam persoalan materi, tetapi terletak dalam kenyataan diri manusia (human realism) itu sendiri. Gambaran jelas tentang ini menurut Fromm terdapat dalam aktivitas seksual suami-istri dan cinta seorang ibu terhadap anaknya. Ibu memberikan dirinya demi pertumbuhan anak yang dikandungnya, memberikan susu untuk bayinya serta memberikan kehangatan. Mengelak dari tindakan memberi hanya mendatangkan rasa sakit dalam dirinya.
Lalu apa saja yang mampu diberikan kepada orang lain? Manusia memberikan dirinya, memberikan sesuatu yang paling berharga yang dia miliki, yaitu kehidupannya. Kehidupan yang dimaksud Fromm bukan soal pengorbanan demi orang lain. Berikut kutipan panjang dari tulisannya:
“yang terpenting dalam hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi orang lain melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya; dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, pengetahuannya, kejenakaannya, kesedihannya-semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut sesorang telah memperkaya orang lain, meningkatkan perasaan hidup orang lain lewat peningkatan perasaan hidupnya sendiri…..(Erich Fromm, The Art Of Loving, hal.41)
Fromm mengkritik orang-orang modern yang memandang cinta dalam visi keindahan dan kenikmatannya saja tanpa melihat cinta sebagai bagian esensial dari seni hidup. Bahkan cinta adalah seni hidup itu sendiri dan merupakan pandangan terhadap manusia yang lebih utuh.
Fromm mengemukakan tiga kekeliruan orang-orang modern dalam memahami cinta.Pertama, persoalan cinta hanya dilihat sebagai persoalan “dicintai” ketimbang “mencintai”. Oleh karena itu, persoalan terpenting bagi kebanyakan orang adalah bagaimana agar dicintai, atau bagaimana agar bisa dicintai. Karena masalahnya adalah bagaimana agar dicintai (to be loved), maka orang-orang berusaha bagaimana ‘menciptakan’ dirinya semenarik mungkin bagi lawan jenisnya. Tentunya hal ini disesuaikan dengan selera zaman atau trend yang berkembang daam kehidupan sosial.
Kedua, persoalan cinta adalah persoalan objek bukan persoalan kemampuan. Orang berpikir bahwa mencintai adalah persoalan mudah, yang sulit adalah bagaimana mencari sasaran (objek) yang tepat. Namun persoalan objek cinta pun selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Fromm mencontohkan, bagi laki-laki zaman sekarang, gadis yang menarik tak ubahnya bingkisan yang selalu mereka inginkan. Sebaliknya bagi perempuan, lelaki yang menarik adalah hadiah yang selalu mereka dambakan. Arti “menarik” di sini tak lain adalah adanya kesesuaian dengan model karakter yang dicari-cari di pasar kepribadian.
Di Amerika tahun 1920-an, seorang gadis peminum dan perokok, ulet serta sexy akan dipandang sebagai sosok yang menarik. Namun pada zaman sekarang, sifat-sifat seperti senang tinggal di rumah serta pemalu justru akan dianggap anggun dan mengesankan pada saat ini. Begitu juga dengan laki-laki, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, untuk dapat dikatakan sebagai “bingkisan” menarik, seorang laki-laki mesti memiliki karakter agresif dan ambisius. Namun sekarang laki-laki yang menarik adalah mereka yang berwatak sosial dan toleran.
Perasaan jatuh cinta biasanya berkembang karena adanya komoditas-komoditas yang dapat dipertukarkan. Sang “aku” selalu berada luar penawaran; karena segala sesuatu dihargai berdasarkan nilai sosialnya. Seseorang diinginkan karena ia juga menginginkan, dengan mempertimbangkan segala asset dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Dua sosok manusia akan jatuh cinta jika telah menemukan objek terbaik mereka di pasaran, dengan mengingat batas-batas nilai tukar yang dimiliki.
Ketiga, sebagai implikasi dari kekeliruan tersebut, bahwa pengakuan cinta merupakan pengakuan jatuh cinta (falling in love) bukan pengalaman meng-ada dalam cinta (being in love) atau berdiri dalam cinta (standing in love). Pengalaman jatuh adalah pengalaman objektivikasi, bagaimana jatuh senantiasa berimplikasi kepemilikan terhadap orang lain.
Bias-bias ini menurut Fromm merupakan akibat dari pandangan dunia yang begitu kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai materialis dalam dunia kapitalis.
Tipe-tipe Cinta
Erich Fromm mengungkapkan bahwa cinta merupakan sikap yang berorientasi pada watak dan hubungan pribadi dengan dunia secara keseluruhan, tanpa dibatasi oleh objek cinta. Meskipun demikian masih menurut Fromm, cinta memliki perbedaan tipe yang tergantung pada objek yang dicintai.
Fromm kemudian mengklasifikasikan dalam lima tipe. Pertama, Cinta persaudaraan (Brotherly Love). Cinta ini cinta terhadap semua manusia yang didasarkan pada pengalaman bahwa kita adalah satu. Perbedaan dalam warna kulit, bakat, intelegensia atau pengetahuan dapat diabaikan bila kita berpikir tentang identitas inti umat manusia. Jenis cinta ini yang paling fundamental dari semua tipe cinta.Lebih jauh Fromm menjelaskan bahwa mencintai sedarah bukanlah sebuah prestasi, karena binatang pun mencintai darah dagingnya; merawat anak-anaknya. Orang miskin mencintai orang kaya karena hidupnya memang bergantung kepadanya. Hanya cinta yang tidak ‘berkepentinganlah’ yang akan menjadi cinta yang sesungguhnya. Ia mencontohkan seperti mencintai orang-orang miskin, orang asing, yatim piatu, musuh dan lain-lain.
Kedua, cinta keibuan. Cinta ibu terhadap anak yang sedang tumbuh, cinta yang tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri, ini barangkali yang sulit dicapai. Tetapi justru karena kesulitan inilah cintanya menjadi awet. Cinta ibu menurut Fromm dianggap sebagai jenis tertinggi dan ikatan emosional yang paling luhur. Uniknya bagi Fromm, bila cinta yang lain menginginkan penyatuan tetapi dalam jenis cinta keibuan ini, seorang ibu mencintai anaknya justru untuk berpisah dari ketergantungan dirinya di kemudian hari.
Ketiga, cinta erotis. Cinta erotis adalah cinta yang mendambakan peleburan dan penyatuan diri dengan orang lain. Fromm memang mengakui hubungan seksual merupakan aktualisasi dari rasa cinta dalam jenis cinta erotis ini, tetapi cinta yang ditekankan adalah cinta produktif yang mengandung unsur-unsur perhatian, tanggung jawab, penghormatan dan pengertian.
Keempat, Cinta diri sendiri (self love). Cinta diri sendiri bersifat egosentris. Satu orientasi psikologis yang menyangkut diri sendiri, sehingga merasakan keasyikan terhadap diri sendiri. Cinta diri selama tidak mengganggu cinta yang lain merupakan aktualisasi positif. Namun apabila ia memasuki wilayah egoisme yang cenderung berkelakuan menguntungkan diri sendiri, atau narsisme maka cinta ini berbalik negatif. Bagi Fromm, mencintai diri sendiri berarti mengaktualisasikan dan mengkonsentrasikan kekuatan dirinya untuk mencintai orang lain. Bila halnya demikian ia menjadi seorang yang produktif.
Kelima, cinta kepada Tuhan. Dalam semua agama teistis, baik yang polities mapun monoteis, Tuhan adalah realitas tertinggi yang paling didambakan. Arti spesifik Tuhan tergantung apa yang paling didambakan oleh seseorang. Cinta jenis ini sama dengan cinta kepada orang tua. Cinta kepada Allah berawal dari keterikatan yang tak berdaya kepada-Nya yang keibuan (matrilineal), lalu keterikatan dan ketaatan kepada-Nya yang kebapakan (patrilineal), sampai suatu saat sang pribadi memasukkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan dalam diri, sehingga menjadi satu dengan-Nya, dan akhirnya sampai pada titik dimana ia mentransfer kualitas ilahi pada dirinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar