Senin, 27 Maret 2017

aliran Rekonstruksionalisme

Rekonstruksionalisme dipelopori oleh Jhon Dewey, yang memandang pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan social di masyarakat. Perkembangan lebih lanjut dari rekonstruksionalisme Dewey adalah rekonstruksionalisme radikal, yang memendang pendidkan sebagai alat untuk membangun masyarakat masa depan.
Persahabatan pendidikan Amerika (Amerivcan Education Fellowship atau AEF)
Prinsip-prinsip yang menjadi landasan kerja AEF yaitu:
Memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada setiap anak, tanpa membedakan Ras, kepercayaan, atau latar belakang ekonomi
Memberikan “pendidikan tinggi” –latihan akademik, professional, dan teknikal– kepada setiap mahasiswanya untuk dapat menyerap dan menggunakan ilmu dan teknologi yang diajarkan
Memebuat sekolah-sekolah Amerika menjadi berperanan sangat penting sebagai satu bagian dari kehidupan nasional kita yang akan menarik karena para gurunya adalah laki-laki dan perempuan kita yang sangat bersemangat
Menyusun sebuah program pemuda untuk usia 17-23 tahun untuk membawa mereka dan sekolah aktif menuju pada berpatisipasi dalam masyarakat orang dewasa
Mengusahakan penggunaan penuh dari perlengkapan sekolah dalam waktu di luar sekolah untuk pertemuan-pertemuan pemuda, kegiatan-kegiatan masyarakat pendidikan orang dewasa
Bekerjasama penuh dengan semua lembaga masyaraklat dan lemabaga social menuju sebuah masyarakat demopkratis yang sesungguhnya, tetapi dalam waktu yang bersamaan menjaga pendidkan yang bebas dari kekuasaan suatu kelompok atau kepentingan tertentu
Terus memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan
Mengajak pemimpin-pemimpin masyarakat untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat menjadi bagian dari sekolah
Pada dasarnya aliran Rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran Perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yang berusaha membina suatu consensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan itu, Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tataan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan Rekonstruksionalisme ingin.
Aliran rekonstruksi juga memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu nasional dan internasional.
Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri.
Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar