Senin, 27 Maret 2017

TRITANGTU (Tiga hal yang Pasti)

TRITANGTU (Tiga hal yang Pasti) adalah suatu Hukum yang Tilu (tiga). Hukum yang tiga ini telah dikenal ribuan tahun yang silam dan menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan manusia, yang terdiri dari tiga kekuataan Purbatisti Purbajati Bumi Pertiwi,yaitu Uga (perilaku),Ungkara (nasehat) dan Tangara (tanda alam). Dan berfungsi sebagai pengatur kehidupan manusia dengan Sang Pencipta, Berbangsa/bernegara,bermasyarakat, dengan orangtua dan para leluhur, sesama makluk hidup, dan alam kehidupan diseluruh jagad raya.
Didalam kata pengantar terjemahan naskah amanat Galunggung menyatakan bahwa amanat Galunggung Kropak 632 menjelaskan tentang kedudukan Tri Tangtu Di Bumi yaitu, Rama,Resi dan Ratu/Prabu.
Ketiganya mempunyai tugas yang berbeda ,tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan ,tidak ada diantara mereka yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lainnya. Tugasnya setara dan sama-sama mulia, ketiga pemimpin tersebut harus bersama-sama menegakkan kebajikan dan kemuliaan melalui ucapan dan perbuatan.
Rama bertanggungjawab menentukan dan membentuk suatu ketentuan berdasarkan sifat dasar kebenaran untuk menjaga kemakmuran/ketenteraman,wilayah kekuasaannya disebut JAGAD DARANAN
Memiliki sifat Asih dan spiritualisme yang tinggi dan bijaksana serta meninggalkan kepentingan yang bersifat duniawi/lahiriyah.
Resi bertanggungjawab mempertahankan ketentuan berdasarkan sifat dasar kebaikan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup,wilayah kekuasaannya disebut JAGAD KERTA.
Memiliki sifat Asah , berjiwa sebagai pendidik/guru yang berperan dalam bidangnya masing-masing untuk melatih keterampilan agar memiliki keahlian sesuai fungsinya masing-masing.
Ratu/Prabu bertanggungjawab melaksanakan tugas pemerintahan / kepemimpinan berdasar sifat manfaat/efektif,wilayah kekuasaannya disebut JAGAD PALANGKA.
Memiliki sifat Asuh yang tugasnya mengasuh seluruh kegiatan tata negara dan menjaga sumber kekayaan negara ,mereka disebut juga sebagai Pamong
Asih,Asah,dan Asuh ini dikenal sebagai dasar dari kehendak Tuhan atau hukum alam ,inti dari hukum alam adalah hukum pasti atau Tangtu.
Pasti atau Tangtu ini terkandung didalam proses wiwitan, istilah Sunda menyebutnya dengan hukum Pepelakan (Hukum sebab-akibat).
Menurut sunda wiwitan ada tiga unsur di alam kahiyangan atau alam ghaib yang berhubungan dengan Tri Tangtu : yaitu Wenang,Kala,Wening :
Wenang menggambarkan alam semesta atau disebut sebagai alam pawenangan yang secara mutlak menyatakan kekuasaan Tuhan sebagai Penciptanya.
Kala menggambarkan proses dalam penciptaan yang berisi kehendak dari Sang Pencipta, perjalanan proses ini perlu waktu / masa, oleh karena itu kala sering disebut waktu.
Wening menggambarkan hamba yang sudah bisa hening/diam/tapa selaras dengan kodrat dan iradat dari Sang Pencipta.Didalam wening mencakup ketauhidan.
Tri Tangtu merupakan gambaran kebaikan dan kebenaran yang berguna / bermanfaat. Namun untuk zaman modern saat ini masyarakat sunda sangat sulit dan bahkan tidak bisa secara maksimal untuk menerapkan prinsip dari falsafah Tri Tangtu,dikarenakan masuknya segala pengaruh budaya asing yang secara perlahan-lahan telah menggeser tatanan budaya sunda asli.
Dalam pribahasa Sunda mengatakan :
"SUKLEUK LEUWEUNG SUKLEUK LAMPIH ,JAUH KASINTUNG KALAPA,LIEUK DEUNGEUN LIEUK LAIN,JAUH INDUNG KABAPA"
Artinya : Suatu tatanan kehidupan yang sudah menjauh dari sifat aslinya/pokok/dasarnya,bahkan antara sesama, kerabat dekat dan orangtuanya seperti orang asing yang tidak saling mengenal.
Pribahasa diatas diibaratkan sebagai suatu kumpulan masyarakat dalam kehidupan bernegara yang telah kehilangan jati dirinya,sehingga tatanan dalam bernegara menjadi tidak menentu dan tidak terarah.
Oleh karena itu berkaitan dengan hal ini ,maka leluhur sunda berpesan :
"TEUNDEUN DI HANDEULEUM SIEUM, TUNDA DI HANJUANG SIANG, TUNDA ALA'EUN SAMPEUREUN JAGA"
Artinya : Kita harus pandai-pandai menyimpan,menjaga,menyikapi dan melestarikan sesuatu yang menjadi ciri budaya/sesuatu yang bermanfaat untuk masa yang akan datang/generasi berikutnya.
Masyarakat Sunda yang hidup dalam alam yang kaya ,subur makmur,kehidupan yang sejahtera,air bersih dari pegunungan yang berlimpah,dan gunung tinggi yang menyediakan ribuan macam tumbuh-tumbuhan dan ribuan macam satwa, memberikan kemudahan dan kenikmatan hidup.
Kenikmatan dan kemudahan ini adalah Anugrah dari Sang Maha Kasih yang telah menciptakan alam dengan segala kenikmatan untuk makhluk ciptaan-Nya.
Sang Pencipta bagi masyarakat sunda disebut juga sebagai Gusti Anu Maha Asih, Gusti Anu Maha Suci,Gusti Anu Maha Agung.
Didalam rasa tumarima (qana'ah) akan anugrah nikmat hidup ini,maka manusia menyadari bahwa segala sesuatu bukanlah miliknya,tetapi semua itu adalah titipan Tuhan dan semua akan kembali lagi kepada-Nya, kepada kehendak-Nya ,hal inilah yang disebut dengan Wiwitan, yaitu konsep kembali ke asal (Sangkan paraning Dumadi).
Tri Tangtu juga di simbolkan didalam bentuk yaitu Segitiga. Segitiga adalah dasar dari segala bentuk. Bentuk segitiga ini kita dapati pada atap rumah tradisi Sunda serta ornamen puncaknya yang disebut Cagak Gunting yang merupakan dua segitiga yaitu segitiga tak berbatas dan segitiga berbatas sebagai simbol alam ghaib dan alam nyata tempat kita hidup.
Rumah itu sendiri terdiri dari tiga bagian yaitu Tatapakan dan kolong, bagian tengah serta atap. Disamping itu terdapat Tri Tangtu yang lain yaitu Tri Tangtu Salira ( Tiga titik pusat dari tiga bagian tubuh) yaitu Dada,Perut dan Kepala disebut titik-titik DA,SA,RA.
DA adalah titik pusat bagian dada,terletak pada jantung yang merupakan wujud dari unsur Tuhan , karena jantung adalah pusat hidup atau pusat tempat masuknya energi yang menghidupkan yang berasal dari Tuhan yang disebut Daha. Wilayah dada ini adalah wilayah Asih dan wilayah Ketuhanan.
SA adalah titik pusat bagian perut,terletak pada pusar atau udel, sebagai titik pusat proses perwujudan manusia,karena manusia diwujudkan didalam perut ibu melalui tali ari-ari yang menyambungkan Bali dan pusar kita. Wilayah Perut ini merupakan wujud dari unsur Alam yang mengasah atau membentuk wujud diri.
RA adalah titik pusat Otak,terletak disyaraf pusat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali Badan dan Kehidupan. Wilayah RA ini mewakili unsur Manusia karena kepala inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lain(adanya Akal) ,dengan kata lain kepala adalah wilayah kemanusiaan atau wilayah Asuh.
RA sebagai pusat pengendali kehidupan dimana wujud kehidupan ini merupakan Tri Tangtu yaitu Tri Karma yang terdiri dari:
-Bayu (Wibawa/Lampah),
-Sabda (Ucapan),
-Hedap (Pikiran).
Tiga unsur tadi mempunyai Energi dan tiap manusia mempunyai Frekwensinya masing-masing. Gabungan dari tiga energi ini disebut RAHA (Roh).
Tri Karma atau Lampah,Ucapan,Pikiran ini juga ditentukan oleh Galuh, Galeuh dan Galih atau menurut istilah sekarang Naluri,Nurani dan Nalar.
PIWEJANG KARUHUN SUNDA (SANGHIYANG SISKANDANG KARESIAN)
Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian berjumlah 30 lembar, ditulis pada tahun 1440 Saka (1518 M). Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode Kropak 630 (Mansukrip Sunda B) Sebagian isi dari naskah dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Dasakerta
Kesejahteraan hidup dapat dicapai bila kita mampu memelihara 10 bagian tubuh yaitu :
1.Telinga
2.Mata
3.Kulit
4.Lidah
5.Hidung
6.Mulut
7.Tangan
8.Kaki
9.Tumbung (Dubur)
10.Alat kelamin (Purusa)
Jika 10 bagian tubuh tersebut tidak dijaga dapat mendatangkan musibah (dora bancana) tetapi bila digunakan dengan benar dapat membawa kesejahteraan (dasa kereta).
Dahulu para paraji (dukun bayi) selalu membisikan wejangan pada telinga kiri bayi sesudah dimandikan:
“Ulah sadengena mun lain dengekeunana”
(janganlah mendengar apa apa yang tidak pantas di dengar,maksudnya telinga jangan dipakai untuk mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang baik, kita akan memperoleh keutamaan dari pendengarannya ).
2. Dasa Prebakti
Ajaran ini menuntut keta'atan seseorang pada orang lain karena kedudukannya, seperti : anak taat pada orangtua, istri taat pada suami, murid taat pada guru. Ini dimaksudkan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat berjalan dengan baik dan lancar.
3. Panca aksara Guruning Jalma
Dalam Siksakandang dituturkan : “Panca aksara ma byakta nu katongton kawreton, kacakeuh ku indriya” (Panca aksara adalah kenyataan yang terlihat dan teralami, serta tertangkap oleh indera). Artinya : “Pengalaman harus dijadikan sebagai pelajaran bagi manusia”
Sebab melalui pengalaman itu akan diperoleh hakikat dari diri manusia untuk menjadi manusia yang lebih dewasa dan mampu menyikapi segala pengaruh pada lingkungannya secara bijaksana.
4. Darma Mitutur
Wejangan ini berkaitan dengan keharusan seseorang untuk belajar dari pengalaman dan dalam menuntut ilmu seseorang harus memiliki penyikapan untuk tidak memandang waktu, guru dan yang harus digurui dan harus bersikap teliti dan selektif.
Darma Pitutur tersebut diuraikan melalui suatu siloka sunda kuno sebagai berikut:
-Tadaga kang carita hangsa (Ingin tahu tentang telaga, tanyalah angsa)
-Gajendra carita banen (Ingin tahu tentang hutan, tanyalah gajah)
-Matsyanem carita sagarem (Ingin tahu tentang laut, tanyalah ikan)
-Puspanen carita bangbarem (Ingin tahu tentang bunga, tanyalah kumbang)
5. Ngawakan Tapa di Nagara (Melakukan Tapa Negara), maksudnya Setiap orang harus memiliki kemampuan dan keahlian, mulai dari seorang penggembala hingga pembesar kerajaan untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi negaranya.
Pada Naskah ini, disebutkan : “Sing sawatek guna, aya na satya diguna kahuluan; eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara”
(Segala keahlian yang dengan setia dilakukan untuk negara, harus ditiru, karena itu berarti melakukan tapa di negara)
6. Tritangtu Di Nu Reya
Merupakan tiga sendi kemenangan dalam masyarakat yang meliputi sikap “teguh, pageuh, tuhu” dalam kebenaran, Sikap ini mutlak dilakukan demi tercapainya kesejahteraan hidup. Bila setiap orang jujur dan benar dalam menjalankan tugasnya maka sejahtera di utara-selatan-barat-timur dan dimanapun yang ada dialam semesta.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional ada 3 posisi yang menjadi tonggak kehidupan, yaitu:
-Rama (Pendiri kampung dan Pemimpin masyarakat)
-Resi (Ulama atau Pendeta)
-Prabu (Raja yang memiliki kekuasaan).
Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
- Bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja)
- Sabda pinaka rama (ucapan seorang rama)
- Hedap pinaka resi (tekad seorang resi)
Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena
"pada pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama mulianya).
Oleh karena itu diantara ketiganya "haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam"
(Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda)
7. Hidup yang pantas dan bersahaja
Setiap orang dianjurkan untuk selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu : “ Pakeun nu tiwas kala manghurip, emat-imeut rajeun leukeun, peda predana” (agar tidak sengsara selama hidup, haruslah hemat dan rajin, cukup pakaian)
Sikap hidup yang bersahaja dan tidak berlebihan ini diuraikan :
“Jaga rang he'es tamba tunduh, nginum twak tamba hana'ang, nyatu tampa ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu”
(Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, jangan berlebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa apa).
8. Jangan gila pujian
Dinyatakan, “lamun aya nu muji urang, suita, maka geuning urang guminta pulangkeun ka nu muji, pakeun urang nu kapentingan ku pamuji sakalih. Lamun urang daek dipuji na kadyanggantang galah dawa minambungan tuna”
(Jika ada orang yang memuji kita, lalu sadarlah, kembalikan kepada pemuji, janganlah sekali kali mengharapkan pujian orang lain. Bila kita senang dipuji, sama halnya dengan galah panjang diberi sambungan sampai tidak dapat digunakan karna terlalu panjang).
9. Panca Parisuda
Panca Parisuda memiliki arti Lima Obat Penawar. Ini kaitannya dengan sikap menerima kritik “Lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih” (Bila ada yang mengkritik kita, terimalah kritik orang lain itu).
- ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi
- ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki
- ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi
- ibarat kita sedang dahaga ada orang yang memberikan minuman
- ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun)
Dengan sikap seperti itu dikatakannya "Kadyangga ning galah cedek tinugalan teka" (sama halnya dengan bambu yang dipapas menjadi runcing) artinya dengan kritikan,maka akal budi kita akan menjadi makin kukuh dan tajam.
"lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga" (kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi).
10. Hidup yang penuh berkah
Pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam hidup harus :
- cermat (emet)
- teliti (imeut)
- rajin (rajeun)
- tekun (leukeun)
- cukup sandang (paka predana)
- bersemangat (morogol-rogol)
- berpribadi pahlawan (purusa ningsa)
- bijaksana (widagda)
- berani berkurban (hapitan)
- dermawan (waleya)
- gesit (cangcingan)
- cekatan (langsitan)
Prinsip hidupnya adalah tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.
11. Parigeuing dan Dasa pasanta
Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (TRI GEUING), yaitu GEUING, UPAGEUING dan PARIGEUING.
-Geuing adalah "bisa ngicap ngicup dina kasukaan" (bisa makan dan minum dalam kesenangan)
-Upageuing adalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana" (bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)
-Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu dipiwarang"
(bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)
Parigeuing memerlukan dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu :
1. bijaksana (guna)
2. ramah (rama)
3. sayang (hook)
4. memikat (pesok)
5. kasih (asih)
6. iba hati (karunya)
7. membujuk (mupreruk)
8. memuji (ngulas)
9. membesarkan hati (nyecep)
10. mengambil hati (ngala angen)
Tujuan dari hal di atas adalah "nya mana suka bungah padang ca'ang nu dipiwarang" (agar senang dan penuh kegairahan orang yang di suruh)
Betapapun harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang penting adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.
Pada dasarnya TRI TANGTU itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu :
-Pemuka Masyarakat,
-Ulama dan
-Pemerintah.
Apa yang diharapkan dari tritangtu itu pada jaman Siliwangi, masih diharapkan juga untuk masyarakat saat ini. Dan anggap saja hal itu sebagai "Wangsit Siliwangi" untuk generasi masyarakat sunda yang akan datang.
Bagian akhir naskah Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur "hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan)
Bila kita perhatikan ajaran moral dalam jaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra sangat dicela oleh penulis Carita Parahiyangan "Aja tinut de sang karuwi polah sang nata" (jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan raja ini).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar